Rabu, 23 Februari 2011

“Keliling Jawa Tengah dalam waktu 4 hari (edisi III: My heart cry for Merapi”)



Di penghujung bulan Oktober tahun 2010 tepatnya tanggal 26, Gunung Merapi kembali meletus. Belum lama berselang dari beberapa bencana alam yang terjadi di Negeri ini seperti banjir di Wasior, meletusnya Gunung Sinabung dan Tsunami di Mentawai (padahal waktu itu aku lagi nabung buat ke Mentawai) sontak saja menambah duka di Negeri ini. Aku menyaksikan berita ini tepat 1 hari setelah aku operasi, dan rasanya pengen nangis sejadi-jadinya. Sebenarnya aku dan ibu sudah merencanakan untuk berangkat di bulan Oktober ini dan kami berniat mengunjungi Jogjakarta, tapi Tuhan punya maksud lain, ternyata aku harus operasi dan perjalanan ditunda.  Tapi ketika awal November kami berangkat ternyata Merapi meletus lagi dan kami berada di sekitar sana J.
Gunung Merapi (sumber : web)
Merapi (ketinggian puncak 2.968 m dpl, per 2006) adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004. Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Kota Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat, berjarak di bawah 30 km dari puncaknya. Di lerengnya masih terdapat pemukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena tingkat kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade Ini (Decade Volcanoes). (sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Merapi).
Salah satu tempat pengungsian
Perjalananku dimulai dari niatan untuk mengunjungi saudara ibu di Temanggung. Saat itu kami naik bis jurusan Semarang-Jogjakarta dari Ambarawa. Bisnya “mewah” yaa senggaknya paling bagus diantara bis yang kemarin-marin aku naiki. Karena harga tiketnya lumayan (beh insting pengiritan keluar), aku mengasih ide untuk ke Jogja aja sekalian, dengan alasan supaya nggak rugi, padahal mah dalam hati pengen tau gimana keadaan disana. Akhirnya setelah bujug-membujug kami pun pergi ke Jogja (dengan menambah uang lagi untuk tiket bis, kalo nggak salah per orang Rp 35.000. Selama perjalanan mah aku senang sekali, pemandangannya beragam dan “Jawa” banget. Dibanding alat transportasi lain aku lebih memilih bis/jalur darat, karena puas melihat pemandangan. Ketika bis mulai memasuki daerah Magelang, jantungku berdebar 5 kali lipat (emang bisa??). Sepanjang jalan dipenuhi oleh pasir, orang-orang terlihat panik dan bahu membahu membersihkannya. Sampai ada orang yang membersihkan pasir itu dari atap rumah.
Perkebunan salak yang hancur
Ternyata pemandangan seperti itu semakin parah ketika masuk daerah Sleman. OH GOD!! Nggak tahan banget ngelihatnya. Pemandangan yang sering ku lihat di film sekarang ada di depan mata, walaupun aku menyaksikannya dari dalam bis, aku tetap merasa merinding. Tanaman setinggi pohon kelapa tumbang, ada yang gosong dan daunnya penuh dengan debu. Perkebunan salak rata dengan tanah, kabel-kabel listrik putus, sungai isinya air berwarna abu-abu dan sedikit ku lihat tumbuhan hijau. Debu yang berterbangan dengan jelas terlihat! Orang-orang pada memakai masker begitupun dengan aku dan ibu. Dari dalam bis kami dapat melihat dengan jelas rupa wedus gembel itu. Sesampainya di terminal Jogja kami segera mencari bis untuk ke Temanggung. Pada saat itu udara di Jogja sangat-sangat panas, kira-kira 2 kali atau 3 kali lipat udara di Bali dan Ambon. Kami menggunakan bis ekonomi dengan “jendela terbuka”. Kali ini aku benar-benar merasakan “penderitaan” disana. Sekalipun aku sudah memakai masker, abu vulkanik yang begitu pekat menyesakan nafasku. Honesty guys pengen nangis sekenceng-kencengnya ketika berada disana. Bisnya penuh sesak, banyak dari antara penumpang yang berdiri dan mereka menyampaikan keluh kesahnya. Dipinggir-pinggir jalan aku melihat orang-orang bergotong royong untuk menyiram jalanan dengan air agar abunya tidak berterbangan. God we need rain! Kalimat itu yang berulang-ulang kuucapkan sebagai doa. Dan you know what! Begitu memasuki daerah Magelang hujan dan angin pun turun, rasanya sejuuukkk dan legaaa sekaliii!! Dan aku cuma bisa bersyukur dengan kata yang tak terucap (karena amaze  banget!). Aku pun selalu memantau berita dari Detik.com tentang kondisi merapi.
Perjalanan kulanjutkan menuju Temanggung, yaa bagi teman-teman yang melihat berita tentang pembakaran gereja disana, tepat disitulah aku berjalan kaki mencari rumah saudaraku dan makan baso tahu J.

.Tips :
-     Sebelum berangkat harus mengecek situasi daerah tujuan (khususnya keamanan).
-     Bawa medical kit, disana pada waktu itu membutuhkan masker dan obat tetes mata.
-     Kalau kondisi sedang kurang fit jangan memaksakan diri untuk pergi.
-     Selalu berdoa untuk keselamatan kamu dan warga disana J.


Biaya :
Biaya masih di tanggung sama ibuku nih, pengeluaran paling untuk transport dan jajanan biasa J.

Dokumentasi lainnya :



God Loves and Blesses Indonesia!!



See you on my next journey

*next posting “Kembali ke alam” (edisi I: Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango sektor Cibodas”)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar