Kamis, 27 Januari 2011

“Anugerah mengikuti Sail Banda 2010 (edisi III: Kota Ambon Manise)”


Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala tetap dipuja-puja bangsa. Disana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda. Tempat berlindung dihari tua, sampai akhir menutup mata.

-Sebuah lagu ciptaan Bpk. (Alm)  Ismail Marzuki yang sangat tepat untuk menggambarkan keindahan Negeri ini- 

Korban mandi khatulistiwa 

Setelah berpetualang di Pulau Banda Neira dan Pulau Gunung Api, rombongan melanjutkan perjalanan menuju kota Ambon, pusat acara Sail Banda 2010 berlangsung. Namun di tengah malam buta kami mendapatkan “kado” spesial dari bapak-bapak TNI AL, yaitu “mandi khatulistiwa”. Kami semua kami dibangunkan dengan cara yang unik, dengan mematikan seluruh lampu yang ada di dalam kapal dan (ceritanya) kita mendapat kunjungan dari Dewa Neptunus (wakakak). Para TNI AL berpakaian layaknya gerandong, pocong, dll dan memaksa kami untuk turun ke tank deck (geladak paling bawah dekat ruang mesin). Kami semua dibariskan dan dibentak-bentak. Beberapa orang pingsan dan menangis (terutama yang perempuan) karena takut oleh wujud bapak-bapak tersebut. Singkat cerita kami semua dipaksa untuk meminum jamu yang isinya campuran rempah-rempah (tapi ada yang bilang dicampur minyak goreng *#$%!), rasanya seperti bumbu mie instan yang ada rasa manisnya juga, hooeekkk!! Tapi aku pakai trik agar ramuan itu nggak terminum. Setelahnya kami dipoles dengan cairan hitam yang lengket yaitu minyak goreng bekas (bekas goreng ikan) dan campuran oli. Harum sekali, amis-amis gimana gitu dan di kulit terlebih kulit muka rasanya panas sekali. Selanjutnya kami dimandikan dengan semprotan air laut dari selang yang besar sekali (perih banget di mata). Akhirnya untuk balas dendam kami buat cetakan-cetakan tangan, bibir dan kaki di dinding kapal, hehehe. Setelah mandi (aku sampai 3-4 kali bilas baru bersih) kami kembali beristirahat.
Muka gosong + berminyak = pas mantab
        Keesokan harinya kami mempersiapkan diri untuk mengikuti sambutan dari pejabat kota Ambon di pelabuhan Halong. Intermezzo dulu nih temen-temen, aku adalah seorang berdarah Ambon campuran dengan Jawa. Namun dari seluruh keluarga (kandung) papaku selain opa, belum pernah menginjakan kakinya di Ambon. Jadi nggak kebayang gimana perasaanku ketika menuruni anak tangga kapal di tanah Ambon. Sangat mengharukan! (telenovela mode on). Aku agak kaget dengan cuaca di Ambon yang *brrr panas sekali, aku  mengeluarkan kaca mata hitam dan memakai topi, tapi tetep aja wajahku belang :p, ya itung-itung tanning deh. Acaranya cukup lama, hingga waktu yang kunanti-nantikan dimulai, yaitu waktu pesiar. Sahabat kami yang merupakan warga Ambon yang sedang kuliah di Surabaya menjadi local guide pada saat itu. Karena kita semua “buta” tentang kota yang satu ini. Acara di Ambon yang kita lalui kurang lebih selama 4 hari (jadi cukup puas berpetualang disini). Nah untuk mempersingkat dan mengefisienkan cerita, aku membagi perjalananku berdasarkan tempat-tempat yang aku tuju saja. Let’s get it on…

Lapangan Merdeka
Pameran di Lapangan Merdeka
Saat baru tiba, aku dan rekan-rekan segera menyerbu stand-stand yang ada. Dalam menyambut acara Sail Banda 2010 ini, pemerintah kota Ambon mengadakan pameran, yang berisi atau memperkenalkan Maluku secara keseluruhan. Dari daerah-daerah tujuan wisata, cinderamata, kuliner, pakaian adat, dll. Aku sibuk mengambil broshur-broshur untuk dipelajari. Aku juga menyempatkan membeli tas kain serba guna seharga Rp 45.000 dan tempat HP seharga Rp. 5.000. Selanjutnya aku berfoto-foto di belakang pameran yang ada tulisan “Ambon Manise” (keren abis!) lalu berfoto di bawah patung Pattimura, pejuang kemerdekaan Indonesia asal Maluku. 

Kota Ambon (Pusat Kota)
Gong Perdamaian
Selanjutnya aku menuju pasar terdekat untuk mencari makan. Karena aku bosen makan ikan setiap hari di kapal, aku memutuskan untuk ke KFC di salah satu Department Store. Wihh, harganya beda sama yang di Jabodetabek nih dengan “bule-bule” memenuhi tempat itu. Aku juga mampir ke Supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari (bahkan perlengkapan mandiku sampai habis gara-gara mandi khatulistiwa). di hari-hari akhir aku dan rekan-rekan berbelanja oleh-oleh di persimpangan yang ada mesjid warna hijaunya. Nah disini aku cukup boros teman-teman. Karena selain banyak titipan aku juga “mikir” kapan lagi kesini (alibi banget :p). di toko ini jual benda-benda khas Ambon, antara lain : cinderamata dari mutiara, perak dan besi putih, kue-kue home made (kalian harus beli roti kenari!!! Kacau enak bangettt!!), sagu, pakaian, pajangan, minyak kayu putih, dll. Waktu itu juga diadakan acara makan Patita, ada 1000 jenis makanan yang disajikan yang boleh kita icip-icip, TAPI karena aku keasikan nyuci baju sambil dengerin lagu, aku jadi nggak ikutan dan ditinggal dikapal sendirian, huaaaaaaaa~


Pantai Natsepa
Natsepa oh Natsepa
Sebelum ke pantai ini aku sempat berjalan-jalan sendirian di pusat kota, tadi ingin sendiri kesini, karena rekan-rekan yang bersamaku hanya pergi berbelanja, tapi aku segera mencari ide untuk menghubungi rombongan Parker. Pada akhirnya aku bersama mereka yang saat itu beruntung sekali diantarkan Omnya Gracia untuk berkeliling-keliling dan di traktir pula, hehehe. Ketika masuk kawasan, wow! Tenang sekali pantainya, padahal sore itu cukup ramai. Air yang seperti terbagi atas beberapa warna serta langit yang begitu cerah, memeriahkan hariku. Yang sangat-sangat aku sayangkan adalah aku tidak bawa baju ganti (T_T), nyeselnya sampe sekarang gara-gara nggak berenang disana. Akhirnya kegiatanku hanya menikmati keindahan atau memuaskan mataku. Beruntungnya aku berkenalan dengan Tante Lin, pemilik kios Rujak Natsepa. Teman-teman harus mencoba ini nih, terkenal banget. Kelihatannya memang nggak jauh berbeda dengan rujak di Jabodetabek, tapi cobain aja dulu. Rasanya manis banget (kaya aku :p) dan Tante Lin dengan berbaik hati memberikanku 3 porsi dalam satu piring. Malah sebelumnya beliau memberiku secara gratis >_<, tapi aku nggak enak. Aku bercerita-cerita dengannya dan dengan mertua beliau yang merupakan pemilik salah satu penginapan disana yang semua sudah full booked karena ada Sail Banda. Jangan lupa cobain es kopyor juga, wueenaaakk, ces pleng :D

Pantai Liang
Time to relaxing
Kami mengunjungi pantai ini dengan menyewa angkot yang berwarna kuning dan supir (yang ku panggil “bung”) sangat baik sekali. Harga sewanya hanya Rp 80.000/pulang pergi (murah banget!!!). Untuk menuju pantai Liang saja kita membutuhkan waktu ± 1,5 jam. Oalaaahh, di tengah perjalanan kami melewati kawasan perbukitan, desa nelayan dan hutan-hutan kecil, speechless pokoknya! Ketika sampai disana hanya terlihat beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari, alamak! It’s so relaxing J. Ada sebuah dermaga kecil yang kata temenku tempat shootingnya Glenn Freddly dan Dewi Sandra. Aku sudah membawa pakaian untuk berenang sebagai balas dendam karena tidak dapat berenang di Natsepa sehari sebelumnya. Ganti pakaiannya di “kamar ganti” yang open air alias nggak ada atapnya karena Toilet yang asli tutup. Kami segera “nyemplung” dan sangat-sangat bahagia sekali saat itu. Nggak tau kenapa seneng banget main di tempat ini. Airnya bening banget, ada ikan warna-warni yang ikut berenang bersama. Tiba-tiba ada seorang bapak penduduk lokal yang menawarkan jasa perahu kayu miliknya untuk disewakan. Akhirnya kami “patungan” untuk menyewanya, dan harganya Cuma Rp. 10.000 sepuasnya, hehehe. Seru banget kegiatan hari ini, matahari yang terbenam pun menambah nikmatnya suasana disana.  Setelah (kembali) memasukan pasir didalam botol aku segera masuk ke dalam angkot dan pulang (tanpa bilas, karena Toilet tutup).
Sebenarnya ingin lebih lama lagi berada disini, tapi kami harus melanjutkan perjalanan kami, kemana coba??? WAKATOBI, geezzzz. Bonus lagi yang aku terima, daerah yang selama ini aku impi-impikan akhirnya aku dapat pergi kesana, Thanks a lot God!! You’re Awesome :D

Tips :
-     Bagi teman-teman yang tidak ingin kulitnya terbakar (hanya untuk sekedar mengurangi) jangan lupa pakai sun lotion/sun block.
-     Jangan lupa bawa baju renang/baju ganti kalau ingin mengunjungi pantai (daripada menyesal kayak aku :p).
-     Berkenalan dengan orang sana untuk minta petunjuk (informasi), selain itu kalian juga bisa punya “sodara” yang nanti bisa dituju ketika mengunjungi Ambon lagi dan mendapatkan harga yang murah karena dibantu dalam hal tawar menawar, hehe.
-     Siapkan uang tambahan kalau teman-teman ingin jajan, enak-enak soalnya.
-     Bagi yang tidak suka ikan atau seafood harus pinter-pinter nyari fastfood atau kios lainnya, karena mayoritas makanan disini adalah yang dari laut-laut.

Biaya :
Pengeluaranku cukup banyak disini, ya dikarenakan “belanjaan yang harus dibeli”. Tapi kira-kira begini rinciannya :
-     Oleh-oleh                                      = ± Rp. 250.000
-     Belanja kebutuhan                        = ± Rp. 100.000
-     Ongkos kendaraan umum (total)     = ± Rp.   20.000
-     Rujak Natsepa (biaya sukarela)       =    Rp.  10.000
-     Tiket masuk pantai Liang               =    Rp.    3.000
    Total                                             =    Rp. 383.300


Dokumentasi lainnya :
Suasana di depan Lapangan Merdeka dan angkot kuning yang kunaiki
Mobil Bpk. SBY dengan plat no Indonesia 1
Kincir-kincir di Pantai Natsepa
Rujak Natsepa (harga asli Rp. 7.000)
Tante Lin bersama dagangannya
Keceriaan di Pantai Natsepa
Kebersamaan di Pantai Liang
Speachlees :D

See you on my next journey
*next posting “Anugerah mengikuti Sail Banda 2010 (edisi IV: Wakatobi I’m in love)”











Senin, 24 Januari 2011

“Anugerah mengikuti Sail Banda 2010 (edisi II: Banda Neira dan Pulau Gunung Api)”

Sebelumnya aku akan menjelaskan sedikit tentang kepulauan Banda, khususnya pulau Banda Neira yang diambil dari tugas Geografiku :p


Kepulauan Banda adalah sebuah gugusan pulau yang terletak ± 132 kilometer di Tenggara kota Ambon, yang terdiri dari 3 pulau besar yaitu, Pulau Neira, Pulau Banda Besar, dan Pulau Gunung Api (yang merupakan gunung berapi aktif) serta 7 pulau kecil lainnya.
Buah Pala (Myristica fragans)
Kepulauan Banda sudah menjadi primadona sejak abad ke 16. Banyak bangsa yang memperebutkan kepulauan ini karena merupakan daerah penghasil tumbuh buah pala (Myristica fragrans) terbesar di dunia yang merupakan salah satu golongan rempah-rempah yang dipakai untuk penyedap masakan dan pengawet. Pada saat itu buah pala merupakan barang yang sangat mahal yang merupakan komoditi dunia, bahkan Belanda rela menukar daerah jajahannya di benua Amerika yaitu New Amsterdam atau nama asli Indiannya Pulau Manahatta atau sekarang lebih dikenal dengan Manhattan, New York, dengan Inggris yang tertuang diperjanjian Breda 1667.
Emperor Angle Fish (sumber : web)

Selain dari catatan sejarahnya yang menarik, Kepulauan Banda ini menjadi salah satu daerah tujuan utama bagi para wisatawan yang menyukai olahraga menyelam, karena begitu besar kekayaan yang dimiliki dunia bawah lautnya. Dari 700 jenis terumbu karang yang ada di dunia ada sekitar 432 jenis karang (atau sekitar 64%) hidup di kepulauan ini, selain itu di kepulauan ini terdapat 52 lokasi penyelaman, yang memiliki biota yang unik disetiap lokasinya. Sebagai contoh pada titik penyelaman Sonegat Arm yang terletak di antara pulau Neira dan pulau Gunung Api, kita dapat melihat emperor angelfish dan blue girdled fish , di pulau Keraka kita dapat melihat large blue dan yellow tunicates, di lokasi menyelam Batu Belanda selain keindahan barrel dan tube spongenya, kita juga dapat melihat berbagai jenis ikan, seperti dari kelompok large emperor, blue girdled angelfish, wrasses, large pinnate batfish, di pulau Hatta kita dapat melihat ikan-ikan yang cantik seperti rainbow runners, unicornfish, fusiliersm jack fish, bisa dijumpai di sini. Terdapat juga dari jenis whitetip sharks, napoleon wrasse, dan hawksbill turtles, dan lain sebagainya. (sumber : http://www.budpar.go.id/page.php?ic=40&id=1861).
Latar belakang Pulau Gunung Api

Alright, sekarang saatnya kembali ke perjalananku. Setelah berlayar selama 3 hari dari Makassar , sampailah rombongan di pulau Banda Neira pada tanggal 29 Juli 2010, pulau yang selama ini aku tunggu-tunggu karena tidak sabar melihat keindahannya. Ketika salah seorang temanku bilang kalau kita sudah sampai, aku yang sedang tidur langsung melompat dari barack (masih menggunakan piyama) segera berlari ke arah heli deck (geladak tempat pendaratan helicopter) untuk melihat pemandangan. Astaga begitu melihat keluar aku seperti berada di era Jurassic, dan pemandangannya mirip dengan suasana yang ada di film Jurassic Park >_<. Terlihat pulau dengan pepohonan yang sangat rindang yang menyerupai bukit dengan kabut dipuncaknya, kapal layar yang melintas kelihatan kecil sekali, hanya beberapa rumah penduduk yang terlihat pada saat itu.

Tarian selamat datang

Setelah menunggu waktu yang ditentukan untuk keluar kapal, kami berlari menuju car deck (geladak tempat menampung mobil tempat tangga kapal berada, yang menjadi tempat favoriteku) dengan penuh semangat. Terdengar alunan music dan nyanyian tradisional lengkap dengan para penarinya yang menambah rasa tidak sabar untuk segera turun. Poster dan tulisan-tulisan selamat datang dipajang di pelabuhan yang kecil itu, ya Pelabuhan Banda Neira. Setelah turun kami menikmati tarian selamat datang yang disuguhkan, masih teringat jelas ketika anak-anak kecil menyerukan “yo..yo..yo..yo..yo” sambil menghentak-hentakan bamboo yang mereka pegang ke tanah. Selanjutnya kami dituntun menuju sebuah lapangan tepat disamping kediaman Bpk. Des Alwi (tokoh masyarakat di Banda). Disana telah disediakan panggung lengkap dengan seperangkat alat music dan beberapa orang penyanyi yang suaranya aduhai, dan beberapa baris kursi yang disusun rapih. Aku langsung duduk di baris paling depan karena ingin mendapatkan foto yang baik dan supaya dapat pemandangan yang jelas, hehehe.
Salah satu tarian yang disuguhkan oleh para gadis Banda
Begitu acara dimulai, para penyanyi langsung mulai berdendang dan bergoyang (astaga emang “orang Ambon” paling demen deh yang kaya gini, termasuk aku karena keturunan Ambon juga :p). Mereka menampilkan berbagai jenis tarian, seperti tarian pergaulan, tarian yang bercerita tentang proses pemetikan buah pala, dsb. Adik-adik kami yang tergabung dalam LNRPB (Lintas Nusantara Remaja Pemuda Bahari) juga menampilkan pertunjukan tari dan marching band. Suasana tambah meriah ketika penyanyi mengajak kami bergoyang bersama dengan menyanyikan lagu dangdut (yihaa, dangdut is the music of my country), acara tersebut diselingi dengan kata sambutan dari Bpk. (Alm) Des Alwi, Kolonel Adi dan pejabat setempat. Aku menyempatkan diri untuk masuk dalam rumpah Bpk (Alm) Des Alwi dan berfoto dengan beliau bersama teman-teman yang lain. Rumahnya tepat berhadapat dengan Pulau Gunung Api. Bpk (Alm) Des Alwi juga merupakan pemilik Hotel Maulana yang masuk dalam kategori 50 hotel terbaik di dunia karena tepat berhadapan dengan laguna dan gunung berapi. Di dalam rumah terdapat banyak perabotan antik dan foto-foto beliau dengan petinggi Negara kita seperti Bpk. Moh. Hatta (karena pada saat Bpk. Moh. Hatta diasingkan di pulau Banda Neira ini, (Alm) Des Alwi lah yang “mengurus” beliau) sampai ada pulau yang diberi nama Pulau Hatta, Bpk. (Alm) Soeharto, dll. Di depan rumah terdapat beberapa meriam tua yang sudah berkarat yang digunakan sebagai patok ketika ada kapal (kecil) yang “parkir”.
Sumur sekaligus monumen 
Kami segera memanfaatkan waktu yang ada, karena kami hanya 1 hari berada di Banda Neira, dikarenakan ada kapal Pelni yang akan datang dan pelabuhan tidak cukup untuk menampung 2 kapal besar. Pihak kampus sudah menghubungi salah seorang warga asli Pulau Banda Neira, Mbak Lily yang juga berprofesi sebagai local guide untuk menemani petualangan kami di pulau yang sangat eksotik ini :D. kami mulai berkeliling kota (city tour) hanya dengan berjalan kaki saja, karena arealnya tidak terlalu besar untuk dijelajahi. Disetiap sudut kota terdapat banyak bangunan tua, malah seperti kembali ke puluhan bahkan abad yang lalu. Aku langsung membayangkan bagaimana suasana pada masa itu, daerah yang menjadi perebutan bangsa-bangsa. Awalnya kami ingin memasuki museum rumah budaya tapi karena tiket masuknya yang cukup mahal, yaitu Rp. 25.000 kami langsung mengurungkan niat. Di depan pintu bulu kudukku langsung naik ketika melihat sebuah lukisan besar yang menempel di dinding museum. Di lukisan tersebut menggambarkan suasana perang dengan banyak korban sedang menjalani hukuman, ada yang dipenggal dan kepalanya dipasang pada tombak, ada yang badannya dibelah (aw! Perasaanku langsung nggak enak). Akhirnya Mbak Lily membawa kami ke sebuah lapangan yang ada sumur dengan tembok berwarna kuning dibelakangnya dan menceritakan peristiwa Perigi Rante, pembantaian orang-orang pilihan di Banda dan beberapa tokoh-tokoh politik Indonesia oleh algojo Jepang yang disewa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Ada yang mendapat bagian “potong 2” (dipenggal/dipisahkan antara pinggang kebawah dan atas/penggal kepala) dan “potong 4” (pemenggalan seperti “potong 2” dengan ditambah pemisahan bagian tubuh bagian kanan dan kiri, jadi 4 bagian).  Berikut adalah beberapa nama korban yang tertulis di tembok/tugu peringata, penggal kepala : Abdul Rahman, Elias, Hassan, dll . “potong 4” : Imam Dender, Ayub, Kodiat Ali, dll.
Istana Mini

Kami melanjutkan perjalanan kami menuju Istana Mini yang  merupakan tempat tinggal Gubernur Jendral VOC JP. Coen yang sudah beralih fungsi sebagai museum, pada saat itu kami gratis memasukinya. Istana yang dibangun pada sekitar abad ke-16 ini merupakan master plan dari Istana Negara di Jakarta. Lalu kami melakukan sedikit pendakian menuju Fort Belgica (Benteng Belgica) yang dibangun pada tahun 1611, konon benteng ini mempunya lorong rahasia yang menghubungkan Benteng Belgica dengan Fort Nasau (Benteng Nasau) yang berada dekat laut). Dari atas benteng kami dapat melihat lautan lepas dan pemandangan yang menakjubkan. Kami juga mengunjungi rumah pengasingan Bung Hatta yang masih ada beberapa benda peninggalan beliau, seperti mesin ketik. Dalam perjalanan kembali ke dermaga aku sempat berpose di depan gereja tua yang juga merupakan master plan dari gereja Immanuel yang ada di gambir. Di dalam gereja ini terdapat 30 makam orang Belanda yang dapat kita liat nisannya pada lantai gereja. Setelah puas berkeliling kota, kami menerima ajakan Mbak Lily untuk berkeliling dengan perahu dan snorkeling di Pulau Gunung Api.
Pemandangan di kaki Gunung Api
Kami segera menuju dermaga perahu tradisional dengan mengajak teman-teman yang lain. Saat itu harga sewa perahu Rp 200.000 dengan kapasitas 10-15 orang. Mbak LiLy yang membantu kami menawar :p. begitu kami mengelilingi pulau, nggak berhenti aku berkata “ How Great is our God!”, pemandangan yang terindah yang pernah aku lihat seumur hidup ku temukan disana. Air yang begitu jernih dengan ikan yang warna-warni menghampiri perahu kami, deretan terumbu karang yang tumbuh sangat subur, deretan bebatuan/tebing yang diukir oleh alam, gua-gua alami di kaki gunung (Pulau Gunung Api adalah sebuah gunung berapi/volcano aktif yang berada diseberang Pulau Banda Neira), pepohonan yang bentuknya sangat unik, serta cahaya matahari yang hampir terbenam menambah indahnya hari itu. Sangat sulit aku ungkapkan dengan kata-kata keindahan tempat itu, aku sangat menyarankan bagi teman-teman pecinta wisata alam/bahari untuk mengunjungi tempat ini (ajak-ajak ya :p). Singkat cerita kami menyewa alat snorkeling (hanya goggle saja) seharga Rp 25.000 sebagai alat bantu, perlu diketahui kami melakukan snorkeling pada saat matahari tenggelam, laut Banda begitu sunyi dan tidak ada penerangan selain dari headlamp yang aku bawa (bermanfaat juga :D). Kalau boleh jujur sebenarnya takut juga ada hewan atau fenomena alam yang aneh-aneh, buktinya selain terdapat palung laut yang begitu dalam, ombak seperti menarik kita untuk lebih jauh ketengah. Pada saat itu aku berenang dengan menggunakan celana jeans dan kaus, karena nggak kebayang akan aktifitas ini :p.
Setelah bersnorkeling ria

Karena hari semakin malam kami memutuskan untuk kembali ke daratan. Oh God!! Satu lagi bonus yang aku dapatkan, langit di Banda beserta bintang-bintangnya (inget ini aku sampai mau nangis, b’cause it’s more than a word of “beautiful” and it’s so damn romantic. Bagi teman-teman yang pernah mengunjungi Planetarium di TIM (Taman Ismail Marzuki), pemandangan ini jauh berjuta-juta kali (hiperbola :p) lebih indah. Sampai-sampai ada salah seorang dari temenku yang cinta lokasi karena momen ini *ups pasti ketika dia baca tulisan ini langsung inget lagi, hahaha. Begitu sampai di darat aku segera mengambil botol minuman untuk ku isi dengan pasir Banda, ya ini memang hobiku yang aneh yaitu mengumpulkan pasir-pasir dari setiap pantai yang aku kunjungi dan melihat perbedaan struktur atau warna dari pasir tersebut serta untuk kenang-kenangan. Kami semua bergegas naik ke kapal untuk mandi dan makan, setelah itu kami menghadiri pesta rakyat di lapangan tempat kami menonton acara sambutan, dan kemeriahan itu masih terekam di benakku, pada malam harinya kami segera berangkat menuju kota Ambon. T__T I miss all the moments there, the panorama, cultures, the folks and all of my new friends. I’m sure to go there again, or maybe more than again :D.
Tips :
-   Jangan jajan sembarangan :p, karena jajanan di Banda Neira ini sangat mahal (untuk ku). Sekaleng coca-cola harganya Rp 25.000, kaos yang biasa dijual Rp 35.000an disana mencapai Rp 150.000.
-   Berkenalan/memakai jasa local guide untuk mempermudah perjalananmu dengan memberikan petunjuk/info dan untuk membantu menawar barang atau sewa.
-   Jika ingin berkeliling naik perahu, ajaklah teman-teman sesuai dengan kapasitas untuk biaya sharing yang lebih murah.
-    Jangan lupa untuk mencuci alat-alat snorkeling sebelum dipakai.
-    Melakukan aktifitas di perairan selagi masih terang (siang-sore) untuk memaksimalkan kegiatan dan untuk keamanan.

Biaya :
Karena aku mengefisienkan pengeluaranku (menghemat) karena perjalanan masih panjang, aku hanya mengeluarkan kocek untuk :
-     sewa goggle       Rp. 25.000
-     sharing perahu Rp. 25.000
Total                 Rp. 50.000   (hohoho)

Dokumentasi lain :

Fort Belgica
Rumah pengasingan Bung Hatta
Gereja
KRI MKS 590 (our second home)
Jalur lahar Pulau Gunung Api
Lapisan tanah vulkanik
Perahu layar (yacht) datang dari Darwin, Australia
Gua-gua alami yang terbentuk di kaki Pulau Gunung Api
Kegiatan snorkeling di malam hari (bening banget airnya)
Kolam renang raksasa
Kejernihan air dan keragaman biota tidak perlu diragukan



See you on my next journey
*next posting “Anugerah mengikuti Sail Banda 2010 (edisi III: Kota Ambon Manise)”






Jumat, 21 Januari 2011

Anugerah mengikuti Sail Banda 2010 (edisi I : Makassar)


Sebuah anugerah yang luar biasa ketika aku dapat berpartisipasi dalam acara Sail Banda 2010 kemarin. Sail Banda 2010 adalah sebuah acara lanjutan yang diadakan pemerintah Indonesia guna mempromosikan Indonesia khususnya dibidang pariwisata dan bahari, yang sebelumnya telah diadakan Sail Bunaken. Sail Banda sendiri merupakan ajang perlombaan perahu layar internasional yang saat itu starting point nya berada di Darwin, Australia. Singkat cerita aku dan beberapa orang temanku terpilih untuk mewakili universitas kami mengikuti acara tersebut dengan sponsor MenDikNas (Menteri Pendidikan Nasional) dengan penyelenggaranya ialah MenPoRa (Menteri Pemuda dan Olahraga). Kami semua tergabung dalam LNRPB (Lintas Nusantara Remaja Pemuda Bahari) yang ternyata adalah perwakilan pemuda-pemudi dari berbagai daerah di Indonesia.  
sahabat setia :)

Singkat cerita pada tanggal 22 Juli 2010, aku diantar ibuku pergi ke KOLINLAMIL Jakarta Utara yang menjadi tempat keberangkatan kami. Aku membawa serta tas gunung kepunyaan kakakku karena aku akan pergi berlayar selama 20 hari lamanya. Aku persiapkan pakaian secukupnya (karena aku pikir aku akan mencuci baju disana), headlamp, matras, headset, Alkitab (buat renunganku setiap malam), alat tulis, kamera + charger (nggak boleh ketinggalan nih) dan uang secukupnya. Siang itu sinar  matahari begitu menyengat ditambah hatiku yang cukup was-was dan sedikit sedih karena akan pergi dalam waktu yang cukup lama meninggalkan keluarga (kebetulan dalam 2 bulan kemarin aku juga sedang magang sehingga jarang pulang ke rumah) dan ini adalah pengalamanku pertama kali berlayar sejauh itu, kira-kira 2000 mil dari pulau jawa :p. 
Tidak lama setelah berada diruang tunggu yang sudah dipenuhi oleh pemuda-pemudi itu, teman-teman sekampusku berdatangan. *fiuh rasa canggung ini perlahan sirna. Akhirnya aku menyuruh ibuku agar pulang saja, karena selain beliau harus bekerja akupun jadi sedih kalau “dilepas” pergi olehnya (pada saat itu aku mengira bahwa kita akan segera berangkat menuju Pulau Banda). *Sebelumnya maaf nih temen-temen banyak cerita dan detail kegiatan yang aku skip karena jika aku paparkan keseluruhannya mungkin temen-temen perlu berjam-jam untuk membacanya, soalnya ini 20 hari perjalanan. Tapi aku berusaha tetap memberikan info dan gambaran dari perjalanan ini. 
name list di G12, miss you guys :)
Setelah briefing dan pembagian kamar serta peraturan yang berlaku baik di dalam kapal ataupun selama perjalanan kami segera memasuki kapal yang sangat besar, KRI MKS 590 milik Negara yang digunakan oleh TNI-AL sebagai kapal perang dengan salah satu fungsinya sebagai kapal pengangkut. Begitu memasuki kapal semua kesan dibenakku langsung hilang. Kapalnya modern sekali dan kalau aku bilang fasilitasnya menyerupai hotel :D. Disana terdapat banyak ruangan tidur (barrack) yang dilengkapi dengan AC, lampu dan colokan listrik disetiap tempat tidur, kantin, ruang makan dilengkapi dengan home teather, mesin cuci, water heater, klinik, alat music lengkap, dsb. Dalam hati langsung terbesit “widih, bakal betah nih gua”.
Rekan-rekan dari UnHas
Keesokan harinya kami mengadakan opening ceremony dan launching ceremony yang dihadiri oleh ketua MenPoRa, yaitu Bpk. Andi Mallarangeng dan para pejabat Negara. Ketika kapal mulai bergerak kami semua melambaikan topi dari anjungan, and here we go! Tujuan pertama adalah Makassar untuk menjemput rekan kami mahasiswa dari universitas Hasanuddin dan menghadiri acara sambutan walikota Makassar. Wow! Ini adalah bonus pertamaku, menjejakan kaki di pulau Sulawesi untuk pertama kalinya. Setelah 4 hari berlayar akhirnya sampai juga di Pelabuhan Makassar, well  hari pertama aku muntah gara-gara lagi kurang fit ditambah kaget dengan “goyangan” ombak a.k.a mabuk laut.
pintu masuk benteng
Begitu turun dari kapal untuk pertama kalinya, kami segera berbaris dan bertemu dengan rekan-rekan kami dari UnHas setelah itu kami menaiki bis yang sudah disediakan penyelenggara. Aku mengacungkan jempol kepada pemerintah dan warga Makassar atas sambutan yang begitu luar biasa, kami diajak keliling kota dengan beberapa orang petugas keamanan didepan rombongan, kebetulan bis yang kunaiki adalah bis pertama, jadi tepat dibelakang mobil yang mengiring kami. Tujuan pertama kami adalah mengunjungi Fort Rotterdam (Benteng Rotterdam) yang terletak tidak begitu jauh dari pelabuhan, disepanjang jalan disekitar pelabuhan sampai objek aku melihat banyak club dan tempat karoke. 
Suasana di dalam Benteng Rotterdam
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros (sumber: Wikipedia). Di samping pintu gerbang aku melihat becak Makassar yang terlihat lebih kecil dari becak yang ada di kotaku (red: Depok). Aku bersama teman sekelasku “ Diyas” langsung berlari mencari point of interest untuk foto (^.^). Sepertinya akan diadakan pagelaran seni di tempat ini, karena terlihat spanduk dan panggung di tengah areal tersebut. Tapi aku sangat menyesal tidak sempat “benar-benar” berkeliling. Biasanya aku butuh waktu yang cukup lama untuk menjelajah tempat wisata, apalagi situs sejarah, agar dapat ilmunya :p.

Istana Balla Lampoa

Tidak lama berselang kami kembali berkeliling kota dengan diiringi sirine polisi (arak-arakan), beberapa jalan ditutup agar rombongan kami dapat lewat, astaga :D. Tujuan kami selanjutnya adalah Istana Balla Lampoa, bekas istana Kerajaan Gowa yang terletak di Jl. Sultan Hasanuddin no.48, Sungguminasa, Gowa. Objek wisata ini berbentuk rumah panggung yang besar yang sekarang sudah dialih fungsikan menjadi museum. Pada saat itu sedang mengalami renovasi. Ketika masuk rumah panggung utama kita harus melepas alas kaki. Didalamnya luas sekali, terdapat beberapa lukisan di atas panggung, namun sayang banyak lampu dan atap yang rusak. Di belakang bangunan utama ada sebuah bangunan yang lebih kecil, namun aku nggak sempet masuk ke dalamnya karena ramai sekali. Selanjutnya kami mengunjungi kantor walikota Makassar untuk mendengarkan sambutan dan diskusi singkat. Cuaca di kota Makassar saat itu panas dan dengan angin lembab (ciri khas daerah yang dekat dengan laut).

@ Losari beach
Setelah acara selesai kami kembali menuju “rumah” alias KRI MKS 590 untuk istirahat dan makan siang. Namun kesempatan ini tidak akan kami lewatkan begitu saja. Makan siang kami habiskan dengan segera, sesudahnya kami diijinkan untuk pesiar (acara bebas di luar kapal) dengan syarat sudah kembali ke kapal pada pukul 17.00 WITA. Dengan diantar oleh bis yang tadi kami naiki, kami meluncur ke pasar terdekat untuk membeli kenang-kenangan. Aku membeli 2 buah gelang (harganya Rp 2.000/buah), tas kain (Rp 30.000), tempat pensil dan tempat koin (total Rp 10.000) dan pajangan Tau-Tau (replika dari orang yang sudah meninggal-adat Toraja). Sehabis berbelanja kami berunding tempat mana yang akan kami tuju. Tadinya kami berniat untuk mengunjungi Trans Studio, namun karena waktu dan unsur kebersamaan kami hanya melintasinya dan segera menuju Pantai Losari. Dari luar bangunan Trans Studio begitu menarik perhatian kami, sampai-sampai kami terus mengabadikannya walaupun hanya dari dalam bis (karena hujan). Kegiatan di Pantai hanya berfoto-foto ria dan mengobrol :p, dilanjutkan dengan beberapa orang temanku yang berwisata kuliner. Di sekitar Pantai banyak kios-kios makanan khas Makassar, antara lain sop konro, cotto Makassar, pisang epe’, es pallu butung, es pisang hijau, dsb. Kami meninggalkan pantai setelah hari mulai gelap dan mendapat kabar untuk segera kembali ke kapal. Begitu masuk ke dalam kapal kita semua wajib apel malam untuk mengecek kelengkapan peserta, dan kapal pun beranjak meninggalkan kota Makassar menuju Pulau Banda Neira :D

*masih penasaran sama Trans Studio >_<


Dokumentasi yang lain :
Pemandangan dari Pelabuhan Makasaar

Iring-iringan rombongan kami
Becak Makassar
Suasana di dalam Balla Lompoa
Narsis dikit :p



Teman-teman berhubung saya mendapatkan akomodasi dan semua fasilitas secara gratis, saya hanya menampilkan pengeluaran saya saja yaa, hehehe

Pengeluaran :  belanja ± Rp 81.000 (karena yang saya cari hanyalah barang yang mewakili daerah tersebut/souvenir yang mempunyai unsur Makassar. Hal ini selain untuk menambah koleksi saya ya pastinya untuk mengerem hasrat belanja alias pengiritan :p

See you on my next journey
*next posting “Anugerah mengikuti Sail Banda 2010 (edisi II: Banda Neira dan Pulau Gunung Api)”