Rabu, 16 Februari 2011

“Keliling Jawa Tengah dalam waktu 4 hari (edisi I: My little hometown Ambarawa)”


Kenapa ya kalau bilang mau pergi ke Jawa atau orang Jawa identik dengan Jawa Tengah (No SARA yak guys), kadang aku juga bingung ketika aku bilang “mau pergi ke Jawa” padahal aku sendiri berada di Pulau Jawa (jadi mau pergi kemana donk, ahhaha).
Pemandangan dari dalam kereta
Okay, langsung aja ah. Beberapa hari setelah operasi usus buntu dan saat-saat gunung Merapi bergelora (3 November 2010) aku bersama ibu pergi ke Semarang untuk mengantarkan berkas-berkas kantor beliau dan sekalian silahturahmi sama keluarga, karena ada beberapa keluarga (dari ibu yang adalah orang Jawa-Jawa Tengah) yang sedang sakit. Kami berangkat dengan menggunakan jasa kereta api dari stasiun Senen. Harga tiket Senen-Semarang Rp.100.000 dan yang bikin aku suka naik kereta ekonomi adalah dapat merasakan udara dan semilir angin selama perjalanan. Dulu pernah naik kelas esekutif tapi kayanya enakan ini deh, ya walaupun kecepatannya rada kurang :p. Kami berangkat sekitar jam 07.15 WIB diperkirakan sampai jam 15.00 WIB (tapinya meleset). Sepanjang perjalanan banyak banget yang bisa dilihat walaupun dengan sekelebat-sekelebat (bener nggak ya nulisnya), dari mulai sawah, perkampungan penduduk, sampai lautan (di sekitar Tegal). Aku sangat menikmati perjalananku dengan ditemani ibu a.k.a emak, lagu-lagu akustik tersayang di HP dan segudang cemilan, =_=.

Rumah makan Pak Djan

Begitu sampai di stasiun Semarang tepatnya Stasiun Tawang kami (sekitar pukul 17.00 WIB) langsung dijemput oleh pegawai kantor cabang ibuku dan kami mengantarkan berkas kesana. Rencana awal adalah kami akan bepetualang di Semarang tapi karena beberapa hal kami membatalkannya (pokoknya harus bisa petualangan disana, amin!). Setelah urusan dinas selesai, kami menuju tempat pangkalan bis untuk melanjutkan perjalanan menuju Ambarawa, yiippii. Kami langsung menyerbu rumah makan Pak Djan yang merupakan langganan Mbahku. Tapi mohon maaf bagi teman-teman yang muslim, rumah makan ini mengolah makanan yang mengandung B2. Tapi aku seneng bisa makan disini, karena selain langganan si Mbah, rumah makan yang hanya berupa kios ini bisa bertahan sampai sekarang, sekarang sih sudah diturunkan oleh anaknya karena Pak Djannya sudah ‘nda ada. Selesai makan kami naik ojek ke rumah Mbahku di Bugisan. Perjalanan ini akan aku bagi ke beberapa kategori tempat untuk memudahkan membacanya :D.

Bugisan
Harvest moon :)
Di kampung (desa) inilah rumah Mbahku berada, sekarang sih sudah cukup ramai, sampai pangling aku. Dulu sepi banget jarang ada rumah. Tapi sungai , rel kereta dan sawah di deket rumah si Mbah masih menjadi idolaku. Aku sempat “nyekar” ke makam Mbah perempuan dan berkeliling sebentar menghampiri tetangga sekitar. Semua pada kaget ngeliat aku, “ya ampun dulu kan kecil banget” dalam bahasa Jawa yang kira-kira artinya begitu. Aku Cuma nyegir-nyengir ala putri aja. Ada juga mbah-mbah yang pegangin tanganku dan nggak dilepas-lepas (aww jadi terharu, berasa artis masuk desa, wkkw). Pada saat itu sawah sedang panen, indah banget warnanya, beberapa petak sawahpun juga sudah mulai ditanami kembali. 

Lapangan Sudirman
Hormat gerak!
Waktu kecil aku pernah datang ke lapangan ini untuk bermain di pasar malam, tapi sekarang berubah banget tampilannya dan keren :D. Di belakang patung Jendral Sudirman terdapat ukiran-ukiran yang menceritakan suasana perang kala itu. Letak lapangan ini sangat strategis, dekat dengan Pasar tradisional (Pasar Lanang) dan Museum Kereta Api Ambarawa. Saat itu Ambarawa pun tidak luput dari hujan abu vulkanik Merapi. Setiap kendaraan roda 4 yang lewat dari arah Yogyakarta penuh dengan abu dan berasap.  Honesty deg deg gan juga ngeliatnya. Cukup lama kami dilapangan ini karena si ibu-ibu yang satu ini narsis sekali, minta difoto terus, baiklah daripada nggak dijajanin, hahaha. Perjalananku kali ini lebih mirip wisata kuliner sebenarnya. Karena, yes kerjaannya makan mulu.

Pasar Lanang
Laris banget dagangannya
Pasar yang menjadi favoriteku kalau lagi pulang kampung, karena seneng banget bisa jajan banyak-banyak dengan budget yang terbatas alias masih murah-murah jajanannya. Tapi berhubung kami sudah siang kesini, sudah banyak yang tutup penjualnya T__T. Aku cuma makan semacam bubur sum-sum dan banyak makanan tradisional lainnya, hehee dan semua hanya Rp 1.500- Rp 3.000 saja (di Jakarta bisa mencapai Rp 5.000).

Museum Kereta Ambarawa
Salah satu koleksi museum
Dari pasar lanang hany sekitar 100m untuk mencapai tempat ini. Dengan tiket masuk seharga Rp 5.000 kita dapat melihat koleksi kereta, dan barang-barang tempo dulu. Dulunya kereta yang beroperasi disini adalah sejenis lokomotif yang pakai kayu/batu bara sebagai fuelnya. Sekarang jalur keretanya dipakai sebagai sarana pariwisata. Karena penasaran aku mengajak serta ibu, tante dan keponakanku untuk naik kereta wisata itu. Tiketnya per orang Rp. 10.000, jalur yang dilewati hanya sampai Stasiun Toentang, tapi pemandangan disekitar Rawa Pening aduhaiii ciiinn! Keretanya berupa trem atau memakai tenaga diesel. Cukup bagus dan nyaman kog.

Rawa Pening
Bermancing ria
Mendengar nama rawa ini yang selalu teringat olehku adalah cerita sewaktu aku masih kecil yang diceritakan ibu dan tanteku, yaitu tentang legenda terjadinya Rawa Pening dan Si Baru Klinting. Tapi ketika aku melintasinya dari kereta wisata yang kunaiki, perasaan seram (teringat cerita masa kecil) beradu dengan keindahan alamnya. Pegunungan yang samar-samar kelihatan berpadu dengan areal persawahan dan danau (rawa) Oh God, I’m so blessed to be Indonesian. Sekarang sudah banyak tempat pemancingan yang dibangun disana. Selain itu Rawa Pening juga merupakan tempat penghasil tanaman eceng gondok yang kemudian di olah menjadi kerajinan bahkan furniture yang sedang diminati oleh pasar. Setelah sampai di Stasiun Toentang kereta kembali pulang ke Museum melewati jalur yang sama.  

Tips :
-     Karena Ambarawa merupakan kota kecil lebih enak kalau jalan-jalan naik motor, delman atau jalan kaki. Terlebih didaerah persawahan biar kerasa desanya.
-     Kalau mau jalan-jalan sampai malam, teman-teman harus naik ojek atau jalan kaki karena angkot/kol (sebenarnya dari kata colt jenis mobilnya) hanya ada sampai sore saja.

Biaya :
Kali ini semua biaya ditanggung si ibu-ibu ini teman-teman, jadi uang jajanku utuh :p. Tapi disana masih murah-murah kog. Kalau mau beli oleh-oleh mending di pasar tradisional saja dan jangang lupa nawar okeey dokeey :D


Dokumentasi lainnya :

Makam si Mbah perempuan
Widiiihhhh :'(

Sawah di Bugisan (belakang rumah Mbah)
Kalau week days rel keretanya nggak digunakan
Penampakan kereta wisata
Sawah di Rawa Pening
Makyooossss!
Delman a.k.a Dokar (kalo Gokar?)


See you on my next journey
*next posting “Keliling Jawa Tengah dalam waktu 4 hari (edisi II: Harmoni kehidupan di Delanggu-Klaten”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar