Rabu, 27 April 2011

“Wisata sejarah di Candi Jiwa Batu Jaya-Karawang”

Postingan kali ini sedikit berbeda nih temen-temen, karena isinya pelajaran, wkwk. Jadi nggak hanya jalan-jalan seneng aja, belajar itu harus J. Waktu aku masih kuliah di semester 5, aku belajar tentang wisata ziarah. Pada waktu itu kita akan berkunjung ke sebuah candi yang cukup unik yang merupakan hasil penelitian tim dosenku dari fakultas budaya. Candi jiwa namanya, terletak di daerah Batujaya, Karawang-Jawa Barat. Paparan berikut aku ambil dari tugas (laporan) selama aku “penelitian” disana J. Here we go!

Sekilas tentang Kota Karawang
Karawang sebagai salah satu kota di pesisir utara Jawa Barat selama bertahun-tahun telah dikenal sebagai lumbung beras nasional, Namun sebenarnya prestasi kota ini tidak sekadar sebagai penghasil beras semata. Pada zaman perang kemerdekaan, kota ini mengukir sejarah ketika sekelompok pemuda mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan membawa Soekarno Ke Rengas Dengklok. Dan hasilnya, sehari setelah peristiwa tersebut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kini rumah ketika Soekarno pernah diungsikan tersebut masih dapat ditemukan tidak jauh dari pasar Rengas Dengklok. Dalam perkembangannya ternyata Karawang juga menyimpan potensi sumberdaya arkeologi yang sangat besar sejak masa prasejarah, klasik sampai masa Islam tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Dua situs dari masa klasik yakni Batujaya dan Cibuaya, sampai saat ini setidaknya memiliki 30 buah lokasi yang diduga merupakan bangunan candi dari masa Kerajaan Tarumanagara sampai Sunda. Satu jumlah yang berlum tertandingi oleh daerah lain di Jawa Barat dan tentu tidak berlebihan jika Karawang mendapat julukan sebagai Lumbung Candi di Jawa Barat.


Kependudukan
Masyarakat di daerah ini pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Oleh karena itu, sebagian besar lahan di daerah Batujaya digunakan untuk areal persawahan irigasi. Pola tanam padi sebanyak dua kali setahun dan pola tata air yang baik menyebabkan daerah ini subur dan menjadi tulang punggung bagi penyediaan beras. Tak heran jika wilayah Karawang yang mempunyai luas wilayah sekitar 3120 Km ini dikenal sebagai lumbung padi nasional.
Lokasi dikelilingin persawahan penduduk
Di samping bercocok tanam, masyarakat yang tinggal di daerah pantai umumnya hidup sebagai nelayan tradisional. Tampaknya dua jenis pekerjaan ini merupakan keahlian yang telah dilakukan secara turun temurun dari leluhur mereka. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian arkeologi di Komplek Percandian Batujaya yang menemukan bandul jaring dan sisa-sisa kulit kerang pada bata - bata candi.
Dari catatan pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1684 M daerah ini hanyalah berupa rawa-rawa yang tidak berarti. Baru pada tahun 1706 M atas perintah pemerintah Kolonial Belanda, daerah ini dibersihkan dan dijadikan areal persawahan dan perkebunan. Artinya, sejak runtuhnya Komplek Percandian Kegiatan menanam padi dengan latar belakang candi Blandongan Batujaya, daerah ini menjadi tidak berarti dan baru mendapat perhatian kembali pada akhir abad ke-17 M.


Lokasi
Papan penunjuk arah
Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai Ujung Karawang). Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karena tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.
Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena kondisi jalan yang ada.


Penelitian
ini dia Pak Dosenku yang meneliti disana :D
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya.
replika batu bata yang menjadi dinding candi, liat ukurannya deh -__-
Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di Situs Batujaya (Batujaya 1 atau Candi Jiwa, dan Batujaya 5 atau Candi Blandongan) telah dipugar dan sedang dipugar. Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara. Juru kunci situs batujaya ini yang sekaligus menjadi pengurus bernama Pak Kaisin Kasin.


Candi Jiwa
Penampakan Candi Jiwa
Candi Jiwa yang dikenal sebagai Unur Jiwa, terletak di tengah areal persawahan berupa gundukan tanah yang berbentuk oval setinggi 4 meter dari permukaan tanah. Bangunan yang berukuran 19 x 19 meter dengan tinggi 4,7 meter ini tidak mempunyai tangga masuk dan di bagian permukaan atas terdapat susunan bata yang melingkar dengan garis tengah sekitar 6 meter yang diduga merupakan susunan dari bentuk stupa. Nama Candi Jiwa diberikan penduduk karena setiap kali mereka menambatkan kambing gembalaannya di atas reruntuhan candi tersebut, ternak tersebut mati. Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia. Ketika umat Budha melakukan ritual ditempat ini mereka mengitari candi jiwa seturut dengan perputaran arah jarum jam.
Jalan setapak yang akan dikelilingi umat Budha saat mengadakan ritual
Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata. Pada masa lampau, masyarakat membuat batu bata dengan menggunakan kayu sebagai media bakarnya, itulah yang membedakan batu bata pada masa lampau yang lebih terlihat gosong dibandingkan dengan batu batu masa sekarang yang dibakar menggunakan oven, walaupun suhu bakaran kedua-duanya berkisar 45 derajat celcius. Dan yang menjadi keunikan, batu bata didaerah batujaya itu berukuran sangat besar dibandingkan dengan ukuran batu bata di daerah Jakarta dan sekitarnya.  


Candi Blandongan
aku bersama teman sekelompok (Ali) di Gapura Candi Blandongan
Nama Blandongan diambil dari dialek setempat yang identik dengan pendopo atau bangunan besar untuk pertemuan atau menerima tamu, dikarenakan lokasi candi tersebut berada sering dijadikan tempat peristirahatan seusai menggembalakan ternak. Candi ini memiliki bentuk bujur sangkar berukuran 24,2 x 24,2 meter. Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap candi Blandongan, diambil kesimpulan bahwa Candi Blandongan adalah candi utama dari kompleks candi-candi tersebut. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan ukuran candi dan adanya pintu masuk pada  ke-empat sisi candi dengan masing-masing sisi tersebut terletak disudut Tenggara, Barat Daya, Timur Laut dan Barat Laut dari mata angin. Pintu-pintu tersebut diperkirakan merupakan akses masuk ke bagian tengah candi untuk melakukan upacara keagaaman atau meletakkan sesaji. Lubang silinder berdiameter kira-kira setengah meter yang terletak pada bagian muka dari pintu masuk, diperkirakan dulunya merupakan tiang penyangga untuk bagian atas atau sebagai gapura. 
Lubang yang bekas tiang Gapura
Dari sisa-sisa reruntuhan bisa dibagi menjadi tiga jenis bahan penyusun candi, yakni batu andesit digunakan pada beberapa bagian di bawah candi, batu bata yang merupakan bahan dominan, digunakan untuk membangun badan candi, sedangkan batu-batuan kecil yang direkatkan dengan lapisan putih diunakan untuk ornamen atap candi. Lapisan putih yang tampak seperti kapur itu, menurut para arkeologi diperkirakan dibentuk dari serpihan kerang. Dengan adanya bahan-bahan penyusun tersebut, pada jaman dulu tentunya candi ini amatlah megah, namun sayang sekali tidak ada literatur yang bisa dijadikan pedoman seperti apa bagian atas dari candi Blandongan ini.


Kelebihan Situs Batu Jaya
Ø Akses menuju situs baik keadaannya, serta jarak tempuh dari jalan utama sangat dekat, hanya sekitar ± 50 meter
Ø Harga tiket masuk sangat terjangkau (Rp 1.000), jadi seluruh kalangan masyarakat dapat mengunjunginya tanpa ada masalah dengan keuangan.
Ø Kawasan objeknya luas sehingga mampu menampung banyak pengunjung.
Ø Pedagang hanya berada dipintu gerbang yang cukup jauh dari objek dan hanya ada satu, yaitu penjual minuman dan makanan ringan.
Ø Pengurus objek sangat ramah dan terbuka terhadap para pengunjung.
Ø Persawahan disekeliling objek menjadi faktor pendukung bernuansa alami serta dapat menjadi educative field untuk pengunjung yang membawa anaknya, serta dapat menjadi media pelepas penat dengan kehidupan di kota besar, yang hampir tidak ditemukan sawah satupun.
Ø Lingkungannya bersih dan terawat. Masyarakat ataupun pengunjung sebagian menganggap kawasan tersebut sebagai tempat yang sakral dan tabu bagi mereka untuk membuang sampah sembarangan, namun hanya segelintir orang yang jahil dan tidak bertanggung jawab yang membuang sampah di area persawahan.



Kekurangan Situs Batu Jaya
Ø Area parkirnya yang sangat sempit karena hanya mengandalkan halaman rumah warga.
Ø Jalan memasuki objek sangat sempit, kalau bukan pengemudi yang mahir pasti akan susah untuk melewatinya, dan kabel-kabel listrik yang terlalu rendah menyebabkan ketika kendaraan (bis) memasuki jalan kecil tersebut warga sekitar harus menaikan kabel listrik dengan menggunakan bambu agar bis dapat lewat.
Ø Panas mataharinya begitu menyengat sekali, sehingga pengunjung tidak dapat bertahan lama tanpa adanya payung atau penutup kepala seperti topi, bahkan beberapa orang teman kami hampir pingsan karena tidak kuat menahan panasnya matahari yang begitu menyengat.


Tips :
-    Pakai sun block untuk mengurangi kegosongan :p.
-    Pakai pakaian kasual dan topi karena disana “agak” panas, haha.
-    Kalau nggak kuat bawa paying dan air mineral agar tidak dehidrasi.


Biaya :
Biaya berupa iuran kolektif yang sudah termasuk transport dan makan.

Dokumentasi lain :
Sisa reruntuhan yang ada di "museum mini" di samping rumah Pak Kaisin Kasin 
Candi jiwa bersama Vega :)
si Ali jadi bahan percobaan @ Candi Blandongan
Reruntuhan Unur Lempeng
Rombongan di Candi Blandongan
Bpk.  Kaisin Kasin 
Jamuan makan di rumah Pak Kaisin Kasin 
Salah asuh, hahaha




See you on my next journey
*next posting “Lampung as my very first time in Sumatra







Rabu, 13 April 2011

“Bali business and family trip :D (03-08 Desember 2009)”


Denpasar moon, shining on an empty street. I returned to the place we used to meet. Denpasar moon, shine your light and let me see. That my love is still waiting there for me.. Denpasar moon-Maribeth



taken by my mom :B
Bali..Bali..Bali, akhirnya setelah kurang lebih 3,5 tahun aku kembali mengunjungi Bali (padahal bulan Januarinya aku juga ke Bali lagi -_-). Misi perjalanan kali ini adalah menemani ibuku untuk pelatihan pensiun disana, harusnya sih yang pergi kedua orang tuaku, tapi berhubung bapakku nggak mau yah dengan senang hati aku menggantikannya :p. Selain itu aku dan rombongan (dari kantornya si ibuku) akan menggunakan pesawat.. Yaa know what? This is my very first time on flight, hahaha.. Kami semua naik Mandala dari terminal 3 bandara Soekarno-Hatta, sekitar pukul 14.21 WIB. Aku cukup menikmati perjalanan kali ini. Untungnya saja cuaca hari itu cerah, jadi aku bisa melihat pemandangan, kalau nggak walaah bisa BT parah, maklum biasa naik kendaraan yang ada di darat yang bisa puas melihat pemandangan sekeliling. Sekitar pukul 15.21 WIB kami tiba di bandara Ngurah-Rai. Kami segera meluncur ke Hotal Inna Bali-Denpasar untuk check-in
Papan informasi hotel
Hotel yang kami tempati untuk beberapa hari kedepan merupakan salah satu hotel tertua di Bali. Disana juga ada kamar yang dulu dipakai Bung Karno untuk menginap, letaknya dipaling depan dekat jalan raya, tidak jauh dari kamarku. Bangunannya juga bergaya kolonial. Tempat makan dan kolam renang letaknya terpisah dari kamar-kamar kami. Kita harus menyeberang jalan dulu untuk mencapainya, tapi tenang saja petugas keamanan hotel stand by untuk membantu kita saat menyeberang. Oia karena waktu kunjungan (untukku) tidak tersusun rapih alias kebanyakan aku yang muter-muter sendiri, jadi aku bagi saja berdasarkan objek wisata yang aku kunjungi. Beraaaangggkaaaatt…..

Pantai Kuta

Koe milii gayaaa...
Waktu itu aku beberapa kali mengunjungi tempat ini. Pantai yang menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan, baik lokal ataupun luar. Kegiatanku disini dari cuma duduk-duduk sambil minum jus pepaya, menikmati birunya laut sambil dengerin lagu sampe pergi ke salon (dekat Kuta) untuk lulur sama pijat tradisional, enak bneer 2 jam ampe tidur-tidur, haha. Pada saat itu sih Kuta masih cukup bersih, soalnya denger-denger sekarang udah banyak sampahnya :’(. Banyak mbak-mbak londo sedang latihan surfing sama surfer boy disana dan banyak bener pasangan-pasangan bersli’weran didepanku, berasa lagi nonton sinetron :D, kalau yang orang-orang Indo kebanyakan cuma main-main air dan ngepang rambut. Asli ibu tukang kepang tangannya udah kaya robot, sambil ngobrol wet wet wet jadi 1 kepang -_- dan sedikit kedengeran mereka cas cis cus ngomong bahasa asing (bahasa Negara lain maksudnya :p). 

Legian
Monumen bom Bali
Wedeh! Sepanjang jalan ini berasa bukan di Indonesia. Dimana-mana saudara sepupuku lalu lalang. Berbagai macam toko dari mulai produk lokal sampai produk-produk luar dijual di sepanjang jalan ini. Aku juga mendatangi monumen bom Bali yang terletak di pusat jalan. Pas di monumen berasa merinding plus sedih ngebayangin pas kejadiannya :’(. Ah udah ah jangan sedih-sedihan :p. Kalau mau kesini yang bawa kendaraan roda empat harus parki di dekat pantai kuta, karena jalan disini oneway dan lebih memprioritaskan para pejalan kaki.

Tanah Lot
Tanah Lot adalah pura yang terdapat diatas bongkahan batu karang, tempat pemujaan dewa Laut. Untuk mengunjungi mata air suci yang terdapat dibawah pura, kita harus menunggu sampai air lautnya surut, karena ombak disana lumayan besar. Di kawasan Tanah Lot juga terdapat hewan yang disucikan, yaitu ular (laut). Warnanya abu-abu bergaris hitam, yang terlihat jinak ditangan penjaganya. Kita perlu mengeluarkan kocek untuk melihat ular ini, kalau nggak salah sih sukarela. 

Jimbaran
wueeedaaaaan!! xoxo
Nah kita kesini menjelang matahari terbenam sekalian makan malam. Asli it’s so so so so damn romantic ya! Meja makannya tuh di pasir udah gitu menghadap ke pantai lagi, dengan pemandangan matahari terbenam, trus ada live musicnya juga. Yang lagi honey moon mah berasa orang lain pada ngontrak nih, haha. Makanan yang kumakan semuanya sea food, ada sup ikan, ikan bakar, udang bakar, NASI (nggak boleh ketinggalan nih) sama apa lagi gitu, lupa aku :p. Di restoran itu juga menjual ikan, udang, cumi dan lobster yang masih segar secara kiloan. Karena Jimbaran itu merupakan daerahnya para nelayan mencari ikan. Jadi rata-rata disana hanya dimanfaatkan untuk bisnis kuliner. 

Pulau Penyu (Tanjung Benoa)
Penyu yang unyu-unyu, hahaha
Untuk menuju Pulau ini kita dapat menggunakan glass bottom boat dari Tanjung Benoa dengan tarif Rp 75.000/orang. Sesuai dengan namanya, ketika kita naik perahu itu kita dapat menyaksikan keindahan bawah laut melalui kaca yang ada di lantai perahu. Kita juga dapat memberi makan ikan warna-warni dengan roti yang diberikan oleh si pengemudi kapal. Sesampainya di gerbang masuk sudah tersedia kotak sumbangan, (*hanya masukan nih temen-temen, bila saat itu tidak bawa uang “kas” yang banyak jangan terpengaruh dengan besarnya nominal yang terletak di tempat sumbangan itu. Karena berdasarkan informasi yang kudengar, ada pihak yang sengaja “meninggalkan” uang yang besar-besar saja supaya kita jadi merasa nggak enak hati untuk ngasih yang lebih kecil, wong namanya juga sumbangan=sukarela J. Disana terdapat banyak penyu, mulai dari telur sampai penyu yang segede wajan yang berumur ratusan tahun. Selain itu juga terdapat beberapa binatang lainnya seperti elang, kelelawar, burung rangkong, ular piton, dsb.

Home Industry J
Karena berbasis pelatihan, rombongan kantor juga menuju tempat-tempat usaha rumahan nih. Dengan maksud memberika ide dan wawasan ketika mereka pensiun untuk membuka usaha sendiri. Diantaranya aku mengunjungi pembudidayaan lele, pembudidayaan tanaman hias, tempat pembuatan bed cover, tempat pembuatan kacang Bali, dan kebun organiknya Pak Oles. Nih beberapa fotonya : 
Flower expansion :D
Tempat pembuatan bed cover
Pembudidayaan lele
Kacang telur Bali, nyam nyam
Shopping time

Sebenarnya ada banyak tempat untuk belanja di Bali, tapi pada saat itu aku hanya mengunjungi Joger dan Krisna. Barang-barang yang aku beli berupa : tas, gelang, baju, sandal, celana boxer dan piyama, kerajinan tangan, lulur, dsb. Ya pokoknya yang “mewakili” Bali deh.  
Joger-Kuta (Joger juga buka cabang di Bedugul, tempatnya lebih luas juga dengan tempat parkirnya)


Tips :
-    Sediakan budget khusus kalau ingin berbelanja.
-   Karena transportasi umum di Bali rada susah (kecuali taksi, motor/mobil sewa dan bus pariwisata), jadi enaknya sudah ada daftar kunjungan yang kalian buat (yang 1 arah), untuk mengefisienkan waktu dan uang.
-    Pakai sun block untuk mengurangi kegosongan :p.
-    Pakai pakaian kasual dan topi karena disana “agak” panas, haha.
-    Menghargai adat istiadat disana dengan menjaga tingkah laku J

Biaya :
Biaya aku tidak masukan karena pengeluaranku (jajan dan belanja) masuk ke daftar pribadi, selain itu akomodasi, transportasi dan biaya tour ditanggung perusahaan ibuku 

Dokumentasi lain :
Pemandangan dari atas pesawat ketika akan mendarat di bandara Ngurah Rai

salah satu bentuk sajen yang ada di pantai Kuta
aktivitas lain di Pantai Kuta


See you on my next journey
*next posting “Wisata sejarah di Candi Jiwa Batu Jaya-Karawang”




Selasa, 12 April 2011

“Live In di Desa Wirogomo, Pager Gedhok-Ambarawa” (27-28 Maret 2011)



Aku, ka Ira dan ka Dini di desa Wirogomo
Petualangan kali ini juga tidak terbayangkan olehku sebelumnya. Tiba-tiba seorang temenku menawarkan pekerjaan untuk menggantikan dia sebagai Assistant Tour Leader (ATL) nya Level 6, yang akan membawa rombongan anak SMA 107-Cakung, kelas XII. Ternyata rutenya adalah Ambarawa-Jogja, geez! Padahal baru beberapa hari yang lalu aku nulis status di FB klo pengen pulang kampung J. Singkat cerita akhirnya aku berangkat pada tanggal 26 Maret 2011. Perjalanan dimulai dengan menjemput adik-adik dulu di sekolah mereka dan segera meluncur ke Ambarawa via Jalur PANTURA (Pantai Utara). Pagi harinya kami beristirahat di Mesjid Agung Semarang, sangking ngantuknya aku sampe ketiduran di trotoar (yang berumput) dan kebangun gara-gara digigitin semut, susah emang jadi orang manis (^_^). Ketika melintasi jalan menuju Ambarawa, aku melihat sebuah pohon yang dipenuhi oleh burung bangau. Keren banget! Ada yang sedang membuat sarang, ada juga yang beterbangan. Ya memang karena kota Semarang sangat dekat dengan laut, tempat dimana burung bangau mencari makan.
Gulungan karpet hijau raksasa
Ketika sampai di Ambarawa, aku jadi kangen rumah si Mbahku tapi karena saat itu sedang mengemban tugas :p jadi nggak sempet deh main kesana. Kami melanjutkan perjalanan menuju Banyu Biru. Kami harus menggunakan mobil pick-up karena bis kami tidak dapat masuk ke dalam, maklum jalan yang akan kami tempuh itu ternyata luaaaarr biasa. Jalan berkelok-kelok dengan tanjakan yang curam membuat kami serasa naik roller coaster J. Tapi di kiri kanan jalan pemandangan yang mempesona disajikan untuk kita. Hamparan sawah dan bukit yang mengelilingi kawasan itu serta nampak Rawa Pening dari kejauhan, membuatku kerasan alias betah, hehe. Begitu sampai di desa Wirogomo kami disambut oleh warga sekitar yang sangat ramah J. Mereka mengantarkan kami ke rumah-rumah yang telah dipersiapkan untuk kami tinggali selama 2 hari 1 malam itu.
Maaf kalau kurang jelas, karena saat itu sedang berkabut :p
Setelah beristirahat kami segera memulai aktifitas disana, dimulai dari berkenalan dengan si empunya rumah. Mereka ramah sekali bahkan tersirat kepolosannya. Si bapak bekerja sebagai pembuat minyak cengkeh dan anak lelakinya membantu dia sehari-heri, nah kalau si ibu (istri bapak yang punya rumah) sangat pemalu sekali. Ternyata ini disebabkan karena beliau belum lancar berbahasa Indonesia, hihiihi. Rumah mereka sangat sederhana, namun terkesan hangat J. Mereka memelihara sapi yang super banget gedenya dan beberapa ekor kambing dibelakang rumah, tepatnya dibelakang dapur. Rumah mereka tepat dibelakang mesjid yang berlatar belakang pemandangan Gunung Kelir, dinamakan seperti itu karena gunung ini mempunyai berbagai jenis warna alami, apalagi jika terkena sinar matahari, rame pokoknya. Tapi pada saat itu yang kontras kelihatan adalah warna hijau tua, hijau muda dan coklat yang saling berganti seperti lapisan-lapisan. Dalam bahasa Jawa, Kelir artinya bisa warna atau pensil warna (benda).
Para ibu guru SMA 107 beserta Pak Lurah (baju merah)
Selanjutkan kami ikut bapak mengambil daun-daunan di ladang untuk memberi makan peliharaannya. Sambil mengobrol ringan dengan bapak, aku berandai-andai gimana kalau aku tinggal disana. Pasti butuh berjuang keras, karena disana kontur tanahnya itu berbukit-bukit dan jauh dari keramaian (terletak di kaki gunung), dan banyak aku lihat orang-orang tua (baca : kakek dan nenek) sedang menggendong kayu bakar atau hasil panen mereka, hah! Aku perkirakan lebih dari 5kg itu mah. Oia disana di kepalai oleh seorang lurah yang masih muda, yang bernama Bpk. Suwignyo (sampe ada yang naksir pula :p). Di desa ini masih memegang erat nilai adat istiadat dan kebudayaan mereka. Jadi butuh sopan santun tingkat tinggi nih J.
Salah satu penduduk desa :)
Aku akan coba memaparkan secara singkat tentang sejarah desa Wirogomo ini. Kata Wirogomo ini berasal dari penggabungan dua kata, yaitu Wiro yang artinya ksartia raksaksa yang berperangai buruk dengan Gomo yang artinya gadis cantik. Dahulu kala ada seorang ksartia (raksasa) yang perangainya sangat buruk, sampai dia bertemu dengan seorang gadis cantik yang bernama Gomo di tempat ini dan menikah, keturunan merekapun juga mewarisi perangai keduanya, ada yang turunan Wiro ada juga yang turunan Gomo. Para pejabat yang terpilih di desa ini tanpa disadari adalah orang-orang yang memiliki hubungan darah. Tapi mereka harus sangat-sangat berhati-hati dalam menjalankan tugasnya dan harus memiliki hari yang bersih. Jika mereka kedapatan berlaku curang hukuman yang “supranatural” siap menghampiri mereka. Contohnya jika mereka korupsi, tangan yang dipakai untuk mengambil uang bisa patah atau bahkan putus. Serem juga sih ya, coba dipemerintahan bisa kaya gitu, hahaha. Desa yang masih dalam kawasan Pager Gedhok ini juga terkenal akan bibit kuda yang berkualitas super. Penduduk sekitar percaya kalau mereka mengambil bibit kuda dari desa ini kuda-kuda mereka akan tumbuh menjadi kuda yang kuat dan tangguh. Katanya dulu pernah tinggal kuda sembrani di desa ini (kuda seperti Pegasus pada mitologi Yunani) yang menggambarkan kuda bersayap yang dapat terbang.
Bulir-bulir padi (*Dewi Sri)
Kembali ke acara, selesai makan siang kami segera berkumpul di depan mesjid dan bergegas pergi menuju pemandian air panas dan ke Curug Kembar Baladewa. Tapi mohon maaf ini temen-temen, karena ini bersangkutan dengan cerita pewayangan kalau aku paparkan semuanya disini pasti kepanjangan. *info tambahannya nih : di desa Wirogomo ada 5 karakter wayang yang dikagumi, yaitu : Baladewa (kakaknya Arjuna), Parikesit (keponakannya Arjuna), Abimanyu (anaknya Arjuna), Anoman (dewa kera penolong Arjuna) dan Dewi Sri (dewi kesuburan/dewi padi). Hanya karakter-karakter tersebutlah yang boleh dipentaskan di desa ini. Disepanjang perjalanan menuju air panas dan curug kami juga melewati persawahan penduduk, pada saat itu sedang gerimis dan kabutpun turun. Sedihnya lensa kameraku sedang kena jamur, jadi nggak maksimal jeprat jepretnya, huaaaaa~. Selangkah demi selangkah aku nikmati sambil menarik nafas panjang, this’s what I called life J
Brrrr*
Ternyata pemandian air panasnya sudah tutup, akhirnya kami semua beralih untuk menuju curug kembar Baladewa, dan tiba-tiba hujan deras, tapi kerena penasaran dan sudah kepalang tanggung kami semua tetap menajak tangga-tangga dari susunan batu untuk mencapai lokasi. Hmmm, jadi teringat masa magang. Bersyukurnya ketika di tempat magang aku sudah belajar bagaimana untuk trecking di bebatuan dan pengalaman nyungsep juga :p. Karena hujannya cukup deras aku meminta tolong kepada adik anak 107 untuk membawakan kameraku, karena dia memakai parasut jacket. Akupun tidak nyebur ke kolam dibawah air terjun karena menjaga barang adik-adik, balik lagi karena saat ini aku sedang on duty soalnya J. Tidak lama kami kembali lagi ke rumah untuk bersih-bersih dan makan malam, sebelumnya kami disajikan oleh pertunjukan seperti kuda lumping gitu, tapi aku nggak sempet nonton karena mencari tempat untuk mandi. Ketika ada acara meet and greet, kebetulan pada saat itu sedang ada hajatan sunat. Sesuai dengan kebiasaan disana, anak yang disunat akan diarak keliling desa dengan menunggangi kuda (beneran) dengan diiringi rombongan yang menabuh berbagai alat musik (alat musik perkusi *rebana, gendang, dsb), dan sejumlah atraksi yang menggunakan media api..
Keesokan paginya, pagi-pagi buta tepatnya kami harus meninggalkan desa Wirogomo untuk melanjutkan perjalanan. Dengan berat hati sebenernya, karena kurang puas menjelajahi desa itu J, tapi disana dengan waktu yang singkat aku belajar banyak hal tentang kemandirian, kekeluargaan, kesederhanaan dan perjuangan. Sampai ketemu lagi desa Wirogomo dan temen-temen 107 khususnya anak-anak di mentor 9 \(^_*)/.

Tips :
-    Hargai adat istiadat dan nilai-nilai disana dengan menjaga perilaku.
- Berkenalan dengan penduduk desa untuk mengetahui sejarah dan mendapatkan ilmu pengetahuan dan wawasan yang baru.
-   Minta ijin dulu jika ingin pergi/menjelajahi suatu tempat, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
-    Bawa air mineral karena kebanyak penduduk desa selalu membuat teh (enak banget emang) dan jarang ada air putih.
-    Bawa baju hangat atau selimut karena disana dingin banget J

Maaf nih temen-temen biaya tidak aku lampirkan karena aku kan sedang on duty jadi biaya akomodasi dan lainnya sudah ditanggung, disana aku juga tidak jajan apa-apa karena sudah bawa snack sendiri.

                         Dokumentasi lain : 
Atap rumah penduduk
Perjalanan menuju kawasan wisata Curug Kembar Baladewa
Foto Pre-Wed, hahaha
sing : I'm going home, right to the place where I belong
Lil' stream :)
Aliran air dari Curug Kembar Baladewa
so caaaaaaalm ^O^
Rombongan sunatan :)







See you on my next journey
*next posting “Bali business and family trip :D (03-08 Desember 2009)”