Rabu, 23 Februari 2011

“Keliling Jawa Tengah dalam waktu 4 hari (edisi III: My heart cry for Merapi”)



Di penghujung bulan Oktober tahun 2010 tepatnya tanggal 26, Gunung Merapi kembali meletus. Belum lama berselang dari beberapa bencana alam yang terjadi di Negeri ini seperti banjir di Wasior, meletusnya Gunung Sinabung dan Tsunami di Mentawai (padahal waktu itu aku lagi nabung buat ke Mentawai) sontak saja menambah duka di Negeri ini. Aku menyaksikan berita ini tepat 1 hari setelah aku operasi, dan rasanya pengen nangis sejadi-jadinya. Sebenarnya aku dan ibu sudah merencanakan untuk berangkat di bulan Oktober ini dan kami berniat mengunjungi Jogjakarta, tapi Tuhan punya maksud lain, ternyata aku harus operasi dan perjalanan ditunda.  Tapi ketika awal November kami berangkat ternyata Merapi meletus lagi dan kami berada di sekitar sana J.
Gunung Merapi (sumber : web)
Merapi (ketinggian puncak 2.968 m dpl, per 2006) adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004. Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Kota Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat, berjarak di bawah 30 km dari puncaknya. Di lerengnya masih terdapat pemukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena tingkat kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade Ini (Decade Volcanoes). (sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Merapi).
Salah satu tempat pengungsian
Perjalananku dimulai dari niatan untuk mengunjungi saudara ibu di Temanggung. Saat itu kami naik bis jurusan Semarang-Jogjakarta dari Ambarawa. Bisnya “mewah” yaa senggaknya paling bagus diantara bis yang kemarin-marin aku naiki. Karena harga tiketnya lumayan (beh insting pengiritan keluar), aku mengasih ide untuk ke Jogja aja sekalian, dengan alasan supaya nggak rugi, padahal mah dalam hati pengen tau gimana keadaan disana. Akhirnya setelah bujug-membujug kami pun pergi ke Jogja (dengan menambah uang lagi untuk tiket bis, kalo nggak salah per orang Rp 35.000. Selama perjalanan mah aku senang sekali, pemandangannya beragam dan “Jawa” banget. Dibanding alat transportasi lain aku lebih memilih bis/jalur darat, karena puas melihat pemandangan. Ketika bis mulai memasuki daerah Magelang, jantungku berdebar 5 kali lipat (emang bisa??). Sepanjang jalan dipenuhi oleh pasir, orang-orang terlihat panik dan bahu membahu membersihkannya. Sampai ada orang yang membersihkan pasir itu dari atap rumah.
Perkebunan salak yang hancur
Ternyata pemandangan seperti itu semakin parah ketika masuk daerah Sleman. OH GOD!! Nggak tahan banget ngelihatnya. Pemandangan yang sering ku lihat di film sekarang ada di depan mata, walaupun aku menyaksikannya dari dalam bis, aku tetap merasa merinding. Tanaman setinggi pohon kelapa tumbang, ada yang gosong dan daunnya penuh dengan debu. Perkebunan salak rata dengan tanah, kabel-kabel listrik putus, sungai isinya air berwarna abu-abu dan sedikit ku lihat tumbuhan hijau. Debu yang berterbangan dengan jelas terlihat! Orang-orang pada memakai masker begitupun dengan aku dan ibu. Dari dalam bis kami dapat melihat dengan jelas rupa wedus gembel itu. Sesampainya di terminal Jogja kami segera mencari bis untuk ke Temanggung. Pada saat itu udara di Jogja sangat-sangat panas, kira-kira 2 kali atau 3 kali lipat udara di Bali dan Ambon. Kami menggunakan bis ekonomi dengan “jendela terbuka”. Kali ini aku benar-benar merasakan “penderitaan” disana. Sekalipun aku sudah memakai masker, abu vulkanik yang begitu pekat menyesakan nafasku. Honesty guys pengen nangis sekenceng-kencengnya ketika berada disana. Bisnya penuh sesak, banyak dari antara penumpang yang berdiri dan mereka menyampaikan keluh kesahnya. Dipinggir-pinggir jalan aku melihat orang-orang bergotong royong untuk menyiram jalanan dengan air agar abunya tidak berterbangan. God we need rain! Kalimat itu yang berulang-ulang kuucapkan sebagai doa. Dan you know what! Begitu memasuki daerah Magelang hujan dan angin pun turun, rasanya sejuuukkk dan legaaa sekaliii!! Dan aku cuma bisa bersyukur dengan kata yang tak terucap (karena amaze  banget!). Aku pun selalu memantau berita dari Detik.com tentang kondisi merapi.
Perjalanan kulanjutkan menuju Temanggung, yaa bagi teman-teman yang melihat berita tentang pembakaran gereja disana, tepat disitulah aku berjalan kaki mencari rumah saudaraku dan makan baso tahu J.

.Tips :
-     Sebelum berangkat harus mengecek situasi daerah tujuan (khususnya keamanan).
-     Bawa medical kit, disana pada waktu itu membutuhkan masker dan obat tetes mata.
-     Kalau kondisi sedang kurang fit jangan memaksakan diri untuk pergi.
-     Selalu berdoa untuk keselamatan kamu dan warga disana J.


Biaya :
Biaya masih di tanggung sama ibuku nih, pengeluaran paling untuk transport dan jajanan biasa J.

Dokumentasi lainnya :



God Loves and Blesses Indonesia!!



See you on my next journey

*next posting “Kembali ke alam” (edisi I: Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango sektor Cibodas”)









Jumat, 18 Februari 2011

“Keliling Jawa Tengah dalam waktu 4 hari (edisi II: Harmoni kehidupan di Delanggu-Klaten)”

Salah satu impianku adalah mempunyai rumah di pedesaan, dan perjalanan kali ini cukup membuatku merasakan bagaimana kehidupan di desa itu. Delanggu adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Aku mengunjungi tempat ini karena ingin mengunjungi Budheku yang suaminya sedang sakit Stroke. Dulunya beliau bekerja di pabrik karung goni yang ada di Delanggu. Delanggu pada masa itu terkenal sebagai lumbung padi dan terdapat pabrik karung goni, namun karena semakin banyak “saingan” dan bermunculan karung beras plastik yang sepertinya lebih praktis membuat pabrik disana gulung tikar. 
Nyaaammmmyyy :p
Aku dan ibuku menunggu di depan pasar menunggu Budheku datang menjemput. Gerimis pun turun dan membawa lapar dalam perutku (padahal nggak hujan juga lapar terus :p). Segera aku menuju ibu-ibu penjual sate dan memesannya. Sate Jawa namanya, rasanya agak berbeda dengan sate Madura yang banyak dijual di Jabotabek, ketumbar terasa pekat pada bumbu kacangnya. Setelah selesai makan aku sempat iseng mainan lele sama belut yang dijual dekat kios, tidak lama berselang Budhe dan sodaraku (tepatnya keponakan menurut silsilah keluarga, padahal usianya sepantar). 
Ikan lele =_=
Karena Budheku dibonceng naik motor akhirnya aku sama ibuku memilih untuk naik becak. Awalnya aku kira perjalanannya hanya sekitar 100-200m tapi ternyata lumayan juga, dan abang becaknya berasa kaya orang mau melahirkan, ya maklumlah ada dua perempuan singset yang naik becaknya, kakaka. Mendekati rumah Budheku beberapa petak sawah sudah menyambut dan OMG ternyata belakang rumah beliau berbatasan dengan sawah, kalau rumah si Mbah di Bugisan aku harus jalan kaki dulu menuju sawah, kalau yang disini mah tinggal lompat. Begitu sampai suasana haru dimulai, hadeuh paling nggak tahan nih yang beginian T__T. Ternyata mereka sudah menyiapkan makanan khusus untuk kami, walaupun mereka dari keluarga sederhana aku kasih 5 jempol untuk keramah-tamahan dan sambutannya. Horeee!! Menunya ikan lele, salah satu ikan yang menjadi kesukaanku, nyam nyam padahal baru makan sate, tapi aji mumpung boss J.
TKP

Menjelang sore aku mandi dan bingung mau ngapain, karena disana sepi banget, paling bales-balesin komen di FB. Akhirnya kami nonton sinetron dengan TV model lama ditemani dengan suara jangkring (lebih kenceng suara jangrik daripada suara orang). Lama berselang aku tiba-tiba ngantuk dan ketika melihat jam, yaasalaaam baru jam 20.00 WIB, biasa dirumah tidur jam 01.00-02.00 WIB juga, tapi yowes lah bagus malah tidur lebih awal. Pagi harinya aku segera keluar rumah untuk main di sawah ditemani Lidya saudaraku. Pertama ngobrol-ngobrol dan akhirnya aku nggak tahan untuk nyebur ke sawah, dan parahnya sandal si Lidya sampe putus gara-gara ikut-ikutan aku nyebur, maaf yaaa :D. Piyama dan sandalku juga tak luput dari masker lumpur, tapi enak banget berasa jadi orang paling norak disana.
Maem yoooo!!
Aku juga sempat mengobrol dengan para petani yang sedang bekerja di sawah, sehingga mereka mengizinkanku untuk “main” ke sawahnya. Banyak sekali buah dan sayur-sayuran yang di tanam, selain padi ada semangka, ketimun, cabai, kangkung, dsb. Disana sedang musim tanam rupanya. Ternyata dari tengah-tengah sawah aku dapat menyaksikan “wedus gembel” dengan jelas. Serem banget!! Padahal jaraknya cukup jauh. Sampai dirumah langsung di “nyanyiin” sama ibuku dan disuruh mandi, untungnya Budheku stay cool dan membelaku. Setelah selesai sarapan kami semua berkemas untuk mengunjungi rumah adenya Mbahku yang perempuan di dekat Karang Anyar (lupa namanya lagi Z_Z).


Tips :
-     Bangun lebih pagi jika teman-teman ingin melihat matahari terbit dan menyegarkan mata serta pernapasan kalian. Disana jam 05.00 aja udah terang banget.
-     Jangan takut untuk berkotor-kotor ria di sawah, kapan lagi kita merasakan hal sedemikian. Selain itu bercakap-cakap dengan para petani juga dapat menambah ilmu dan mengetahui apa yang mereka rasakan J.

Biaya :
Biaya masih di tanggung sama ibuku nih teman-teman, yang pasti dari transportpun masih sangat terjangkau kog J.

Dokumentasi lainnya :
Isinya beras, yang keserempet bisa mejret :p


Unyu-unya (kakaka)
Wedhus Gembel -_-
Di galangan sawah ada ini (nyamnyam)
Fresh from the factory
Bibit padi sebelum ditanam
Anjingnya setia banget
Sueegeeeeerrrrr
Kursi warisan Mbah Buyut, hohohoh (ada sendalku juga, eksis yaaa)
So sexy!!


See you on my next journey
*next posting “Keliling Jawa Tengah dalam waktu 4 hari (edisi III: My heart cry for Merapi”)

Rabu, 16 Februari 2011

“Keliling Jawa Tengah dalam waktu 4 hari (edisi I: My little hometown Ambarawa)”


Kenapa ya kalau bilang mau pergi ke Jawa atau orang Jawa identik dengan Jawa Tengah (No SARA yak guys), kadang aku juga bingung ketika aku bilang “mau pergi ke Jawa” padahal aku sendiri berada di Pulau Jawa (jadi mau pergi kemana donk, ahhaha).
Pemandangan dari dalam kereta
Okay, langsung aja ah. Beberapa hari setelah operasi usus buntu dan saat-saat gunung Merapi bergelora (3 November 2010) aku bersama ibu pergi ke Semarang untuk mengantarkan berkas-berkas kantor beliau dan sekalian silahturahmi sama keluarga, karena ada beberapa keluarga (dari ibu yang adalah orang Jawa-Jawa Tengah) yang sedang sakit. Kami berangkat dengan menggunakan jasa kereta api dari stasiun Senen. Harga tiket Senen-Semarang Rp.100.000 dan yang bikin aku suka naik kereta ekonomi adalah dapat merasakan udara dan semilir angin selama perjalanan. Dulu pernah naik kelas esekutif tapi kayanya enakan ini deh, ya walaupun kecepatannya rada kurang :p. Kami berangkat sekitar jam 07.15 WIB diperkirakan sampai jam 15.00 WIB (tapinya meleset). Sepanjang perjalanan banyak banget yang bisa dilihat walaupun dengan sekelebat-sekelebat (bener nggak ya nulisnya), dari mulai sawah, perkampungan penduduk, sampai lautan (di sekitar Tegal). Aku sangat menikmati perjalananku dengan ditemani ibu a.k.a emak, lagu-lagu akustik tersayang di HP dan segudang cemilan, =_=.

Rumah makan Pak Djan

Begitu sampai di stasiun Semarang tepatnya Stasiun Tawang kami (sekitar pukul 17.00 WIB) langsung dijemput oleh pegawai kantor cabang ibuku dan kami mengantarkan berkas kesana. Rencana awal adalah kami akan bepetualang di Semarang tapi karena beberapa hal kami membatalkannya (pokoknya harus bisa petualangan disana, amin!). Setelah urusan dinas selesai, kami menuju tempat pangkalan bis untuk melanjutkan perjalanan menuju Ambarawa, yiippii. Kami langsung menyerbu rumah makan Pak Djan yang merupakan langganan Mbahku. Tapi mohon maaf bagi teman-teman yang muslim, rumah makan ini mengolah makanan yang mengandung B2. Tapi aku seneng bisa makan disini, karena selain langganan si Mbah, rumah makan yang hanya berupa kios ini bisa bertahan sampai sekarang, sekarang sih sudah diturunkan oleh anaknya karena Pak Djannya sudah ‘nda ada. Selesai makan kami naik ojek ke rumah Mbahku di Bugisan. Perjalanan ini akan aku bagi ke beberapa kategori tempat untuk memudahkan membacanya :D.

Bugisan
Harvest moon :)
Di kampung (desa) inilah rumah Mbahku berada, sekarang sih sudah cukup ramai, sampai pangling aku. Dulu sepi banget jarang ada rumah. Tapi sungai , rel kereta dan sawah di deket rumah si Mbah masih menjadi idolaku. Aku sempat “nyekar” ke makam Mbah perempuan dan berkeliling sebentar menghampiri tetangga sekitar. Semua pada kaget ngeliat aku, “ya ampun dulu kan kecil banget” dalam bahasa Jawa yang kira-kira artinya begitu. Aku Cuma nyegir-nyengir ala putri aja. Ada juga mbah-mbah yang pegangin tanganku dan nggak dilepas-lepas (aww jadi terharu, berasa artis masuk desa, wkkw). Pada saat itu sawah sedang panen, indah banget warnanya, beberapa petak sawahpun juga sudah mulai ditanami kembali. 

Lapangan Sudirman
Hormat gerak!
Waktu kecil aku pernah datang ke lapangan ini untuk bermain di pasar malam, tapi sekarang berubah banget tampilannya dan keren :D. Di belakang patung Jendral Sudirman terdapat ukiran-ukiran yang menceritakan suasana perang kala itu. Letak lapangan ini sangat strategis, dekat dengan Pasar tradisional (Pasar Lanang) dan Museum Kereta Api Ambarawa. Saat itu Ambarawa pun tidak luput dari hujan abu vulkanik Merapi. Setiap kendaraan roda 4 yang lewat dari arah Yogyakarta penuh dengan abu dan berasap.  Honesty deg deg gan juga ngeliatnya. Cukup lama kami dilapangan ini karena si ibu-ibu yang satu ini narsis sekali, minta difoto terus, baiklah daripada nggak dijajanin, hahaha. Perjalananku kali ini lebih mirip wisata kuliner sebenarnya. Karena, yes kerjaannya makan mulu.

Pasar Lanang
Laris banget dagangannya
Pasar yang menjadi favoriteku kalau lagi pulang kampung, karena seneng banget bisa jajan banyak-banyak dengan budget yang terbatas alias masih murah-murah jajanannya. Tapi berhubung kami sudah siang kesini, sudah banyak yang tutup penjualnya T__T. Aku cuma makan semacam bubur sum-sum dan banyak makanan tradisional lainnya, hehee dan semua hanya Rp 1.500- Rp 3.000 saja (di Jakarta bisa mencapai Rp 5.000).

Museum Kereta Ambarawa
Salah satu koleksi museum
Dari pasar lanang hany sekitar 100m untuk mencapai tempat ini. Dengan tiket masuk seharga Rp 5.000 kita dapat melihat koleksi kereta, dan barang-barang tempo dulu. Dulunya kereta yang beroperasi disini adalah sejenis lokomotif yang pakai kayu/batu bara sebagai fuelnya. Sekarang jalur keretanya dipakai sebagai sarana pariwisata. Karena penasaran aku mengajak serta ibu, tante dan keponakanku untuk naik kereta wisata itu. Tiketnya per orang Rp. 10.000, jalur yang dilewati hanya sampai Stasiun Toentang, tapi pemandangan disekitar Rawa Pening aduhaiii ciiinn! Keretanya berupa trem atau memakai tenaga diesel. Cukup bagus dan nyaman kog.

Rawa Pening
Bermancing ria
Mendengar nama rawa ini yang selalu teringat olehku adalah cerita sewaktu aku masih kecil yang diceritakan ibu dan tanteku, yaitu tentang legenda terjadinya Rawa Pening dan Si Baru Klinting. Tapi ketika aku melintasinya dari kereta wisata yang kunaiki, perasaan seram (teringat cerita masa kecil) beradu dengan keindahan alamnya. Pegunungan yang samar-samar kelihatan berpadu dengan areal persawahan dan danau (rawa) Oh God, I’m so blessed to be Indonesian. Sekarang sudah banyak tempat pemancingan yang dibangun disana. Selain itu Rawa Pening juga merupakan tempat penghasil tanaman eceng gondok yang kemudian di olah menjadi kerajinan bahkan furniture yang sedang diminati oleh pasar. Setelah sampai di Stasiun Toentang kereta kembali pulang ke Museum melewati jalur yang sama.  

Tips :
-     Karena Ambarawa merupakan kota kecil lebih enak kalau jalan-jalan naik motor, delman atau jalan kaki. Terlebih didaerah persawahan biar kerasa desanya.
-     Kalau mau jalan-jalan sampai malam, teman-teman harus naik ojek atau jalan kaki karena angkot/kol (sebenarnya dari kata colt jenis mobilnya) hanya ada sampai sore saja.

Biaya :
Kali ini semua biaya ditanggung si ibu-ibu ini teman-teman, jadi uang jajanku utuh :p. Tapi disana masih murah-murah kog. Kalau mau beli oleh-oleh mending di pasar tradisional saja dan jangang lupa nawar okeey dokeey :D


Dokumentasi lainnya :

Makam si Mbah perempuan
Widiiihhhh :'(

Sawah di Bugisan (belakang rumah Mbah)
Kalau week days rel keretanya nggak digunakan
Penampakan kereta wisata
Sawah di Rawa Pening
Makyooossss!
Delman a.k.a Dokar (kalo Gokar?)


See you on my next journey
*next posting “Keliling Jawa Tengah dalam waktu 4 hari (edisi II: Harmoni kehidupan di Delanggu-Klaten”



Selasa, 15 Februari 2011

“Anugerah mengikuti Sail Banda 2010 (edisi IV: Wakatobi I’m in love)”


Perjuangan untuk mencapai Pulau ini luar biasa teman-teman. Kala itu sedang ada badai, bahkan aku mendapat kabar ada kapal yang tenggelam di Makassar dan ombak di Laut Banda begitu bergolak. Hampir semua barang-barang yang kami taruh di lemari jatuh berhamburan dan banyak sahabat-sahabat kami yang bergelimpangan alias teler karena mabuk laut parah. Aku memutuskan untuk tidur-tiduran sambil ngumpul sama teman-teman di geladak heli, sambil melihat pemandangan dan bagian belakang kapal yang bergoyang ke kiri-kanan-atas-bawah, hahaha.
(sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Wakatobi)

Wakatobi adalah sebuah kabupaten yang terletak di Sulawesi Tenggara yang ibukotanya terletak di Wangi-Wangi (tempat dimana rombongan mendarat). Wakatobi juga merupakan nama kawasan taman nasional yang ditetapkan pada tahun 1996, dengan luas keseluruhan 1,39 juta hektare, menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang yang menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia. Sebenarnya sudah lama aku mengincar pulau ini karena keindahan alamnya. Tapi Thx God akhirnya aku dapat kesempatan juga untuk berkunjung kesana. Walaupun pada saat itu sedang hujan dan pantainya tidak sejernih yang kubayangkan tapi rasa syukur itu tetap mengalir dihatiku JNama Wakatobi sendiri diambil dari (singkatan) 4 pulau di wilayah tersebut, yaitu : Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko.
Pelabuhan Wangi-wangi

Begitu sampai di Pelabuhan Wangi-Wangi, kami melihat sambutan dari warga setempat, wargapun berbondong-bondong untuk melihat kedatangan kami dan bertamu ke dalam kapal. Kami sudah mempersiapkan bingkisan bagi anak-anak disana, berupa buku dan alat tulis. Kami berfoto-foto dengan anak-anak sekolah yang masuk ke dalam kapal dan bertanya tentang objek wisata yang paling bagus dan terdekat. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke pantai Patuno. Kami menyewa angkot dengan harga ± Rp 100.000. Perjalanan cukup jauh, melewati perkampungan dan perkebunan, suasananya sepi sekali. Dari sisi sebelah kiri kami dapat melihat hamparan pasir putih yang luar biasa.
Aku segera berlari karena tidak sabar untuk bermain air. Banyak rumah-rumah (resort) yang terbuat dari kayu dan akupun numpang ganti baju disana, hehe. Begitu injak pasirnya, nyeeesss lembut banget, pasir terhalus yang pernah aku temukan. Air lautnya sedang surut dan you know what?? Banyak banget biota laut yang kelihatan, diantaranya bintang laut, bulu babi, cacing laut and the gank (karena nggak tau namanya). Aku mencari tempat dimana bisa berenang, tapi sepertinya aku menemukan tempat yang kurang bagus. Dibalik batu karang yang besar aku berenang dengan ombak yang begitu kencang dan terdapat banyak karang-karang kecil dibawahku. Alhasil kakiku luka disana-sini, tapi kalau dibanding sama perasaan senangku semua sakit itu nggak kerasa sama sekali.

Penyu -__-

Setelah selesai berenang kini tiba saatnya untuk bermain pasir, iisss masih kerasa lembutnya warnanya juga beneran putih. Yah seperti biasa aku langsung mencari botol untuk menambah koleksi pasirku, hohoho. Teman-temanku yang iseng menguburku dalam pasir, yasudah kotor-kotor sekalian aku membuat (rencana awal si buat istana pasir) gundukan seperti sarang penyu. Dan mulai dari sana teman-teman memanggilku dengan julukan baru, penyu. Ketika hari mulai gelap kami memutuskan untuk mengakhiri hari kami di pantai Patuno. Ternyata angkot yang tadi kami tumpangi lama sekali datengnya, tapi ada rombongan temanku yang lupa untuk menghubungi abang angkotnya. But Thx God pas setelah aku bilas angkotnya datang. Wah perjalanan pulang kali ini keren abis, perkampungan dan perkebunan yang tadi kami lewati jarang terdapat penerangan dan matahari  terbenam dari sisi kanan (yang semula di kiri) melengkapi hari kami. Sampai di pelabuhan Wangi-wangi terdapat pasar dadakan oleh warga setempat, banyak sekali tukang jualan disana, tapi karena bugdetku sudah tipis yaa langsung masuk kapal aja deh :p


Tips :
-     Teman-teman harus mencharter angkot kalau tidak ingin menunggu lama bahkan pulang dengan berjalan kaki, kecuali kalian memakai mobil pribadi atau kendaraan lainnya. Sebisa mungkin berkenalan dengan warga sekitar dan bertanya atau meminta bantuan untuk menawar harga sewa angkot/kendaraan lain.
-     Bawa makanan/minuman karena (waktu aku) disana tidak ada yang menjual barang-barang itu :p.
-     Jangan lupa untuk memakai alas kaki, terlebih jika sedang surut. Karena banyak bulu babi, aku sendiri memakai sandal gunung/tali agar tidak ribet atau sendalnya putus.

Biaya :
Kembali lagi aku melakukan pengiritan disini, hahaha (karena budget sudah aku pisahkan untuk ditabung). Kira-kira segini deh pengeluarannya :
-     Patungan sewa angkot           = Rp 10.000
-     Jajan                                    = Rp   5.000
                Total                                     = Rp 15.000 (ngakak!)

Dokumentasi lainnya :
(mohon maaf nih temen-temen, aku bersama teman-teman keasikan bermain jadi “lupa” mengabadikan suasana disana, yang ada ya foto-foto narsis kita -_- )
Sambutan dari warga setempat
Anak-anak sedang memancing gurita (kasian banget guritanya)
Pantai Patuno menjelang senja (masih berawan)
Miss you guys :*
Ketemu kerang yang bentuknya aneh (malah terlihat kaya anak ilang)

See you on my next journey
*next posting “Keliling Jawa Tengah dalam waktu 4 hari (edisi I: My little hometown Ambarawa”