Rabu, 14 Desember 2011

Unforgettable Karimun Jawa (Day I)

Sepaadaaa teman-teman!! Akhirnya aku kembali berpetualang. Petualangan yang sekarang tentunya nggak kalah seru dari yang sebelum-sebelumnya dan merupakan pengalaman baru buatku. Yuhuu…Camping di pulau (pinggir pantai tepatnya). Dari uang yang super sangat minim, peralatan “perang” pinjaman, tergeletak di lantai kapal,  tenaga yang sampai titik darah penghabisan, uji nyali, belajar mandiri, sampai nggak mandi 3 hari, hahaha. Dimanakah tempat yang sangat membuatku terpesona sampai sebegitunya pengorbanan yang kuberikan?? Yess!! KEPULAUAN KARIMUN JAWA~ mau tau cerita selengkapnya? Let’s pack your bags
 
Abis "gelap" terbitlah "terang"
Singkat cerita perjalanan aku mulai dengan menaiki kereta Ekonomi pertama menuju Stasiun Cikini untuk janjian dengan seniorku di kampus, Ka Ira. Dari sana kami melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Senen dengan menggunakan bajaj. Sampai di Senen kami segera naik kereta bisnis jurusan Senen-Tawang, yang harga tiketnya Rp 125.000. Beberapa hari sebelumnya ka Ira sudah membeli tiket agar kita mendapat tempat duduk, ya pada waktu itu cukup padat karena ada hari libur Nasional. Perjalanan menuju Semarang ± 8 jam. Begitu sampai si Primus (saudara seperjuanganku pada event Sail Banda 2010) dengan setia menjemput kami. Rumah si Primus yang terletak di daerah Tlaga Sari menjadi basecamp kami. 


Sore itu kami ditraktir si Primus makan siang dan kami segera meluncur ke markasnya WAPEALA UNDIP (mahasisWA PEcinta ALAm UNiversitas DIPonegoro). Kami berkenalan dengan beberapa sahabatnya si Primus disana. Kami dijamu dengan sangat apik dan dengan baik hati juga mereka mau meminjamkan kami alat-alat camping dan snorkeling serta mengajak kami lain waktu untuk berpetualang bersama (bahkan rafting dan naik ke Kilimanjaro, waaaa~). Tidak lama berselang kami ke Rumah Primus untuk berkenalan dengan orang rumahnya, istirah++at dan menyiapkan peralatan. Kami juga patungan untuk membeli logistik selama kami di pulau #saaahh. Kesempatan ini juga tidak aku lewatkan begitu saja. Teman-teman Sail Bandaku yang berdomisi di Semarang dan sekitarnya datang mengunjungiku waaalaah makasihhh yaah, xoxo. Ternyata karena 1 dan lain hal untuk menyiapkan barang-barang menyita waktu kami sampai hampir jam 1 pagi, padahal aku juga belum istirahat dan harus bangun jam 4 pagi (oh indahnya :p). Begitu selesai makan aku langsung mati rasa di kasur, kayanya badan udah nggak bisa digerakin lagi cckckkc.
Koki Ira  

Beberapa jam kemudian sekitar jam 4 pagi kami bangun dan segera bersiap-siap. Tenda yang semalam kami cuci dilipat dan dimasukan kedalam tas. Aku tampil prima dengan hanya cuci muka dan gosok gigi :D. Ternyata Greta adiknya si Primus dengan baik hati mau mengantarkan kami ke Pelabuhan Kartini, Jepara. Setelah berpamitan dengan ibunda Primus dan menjemput temannya Greta kami segera meluncur, tau nggak bagasi mobil sampe ceper ga­ra-gara keberatan tas yang gedenya pada segede kulkas, hahaha. Sepanjang perjalanan kami mendengar dan menyanyikan lagu Souljah sambil melihat matahari terbit. Wohooo~ what a great day. Sekitar jam setengah 9 pagi kami sampai di Pelabuhan Kartini-Jepara. Karena tadi kami belum sarapan akhirnya kami menuju warung makan yang ada dengan sebelumnya mengucapkan terima kasih kepada Greta. Selesai makan kami langsung berjalan mantap menuju KM Muria yang akan membawa kami menyebrangi Laut Jawa. Yang kalau di peta Kepulauan Karimun Jawa tidak begitu jauh namun cukup memakan waktu tempuh 8 jam J. Kapalnya lebih kecil bila dibanding ferry penyebrangan ke Sumatera atau Bali. Aku mulai nggak sabar menunggu kapalnya berangkat. 


Kecil-kecil cabe rawit nih
Dan akhirnya jalan jugaa sekitar jam setengah 10. Karena aku masih ngantuk aku tidur-tidur ayam deh dan asli ternyata aku masuk angina, karena semalem masih keluyuran di Semarang naik motor untuk mencari logistik. Saat itu latihan selama Sail Banda alias hidup diatas kapal seakan terlupakan. Aku terus buang-buang angina dari mulut (ups untung bukan dari p**** :p). Akhirnya kami memutuskan untuk naik ke Anjungan (astaga kangen amet sama kapal MKS 590). Kami berjemur (halah) sambil ngobrol dan mendengarkan musik sebelum Teddy datang. Teddy adalah kenalan kami yang merupakan turis asing dari Bulgaria. Dia adalah seorang pendaki gunung yang datang ber2 pacarnya. Wedeh Mau keliling Jawa buat naik gunung nih mereka. Kami sempat berbincang-bincang sampai akhirnya si Teddy nggak kuat sama guncangan ombak yang lumayan besar, maklum biasa di gunung dia :D. Terik matahari tambah membuat kepalaku pening #logatsipoltak. Akhirnya aku udah masa bodo dan tiduran didepan ruang nahkoda disamping mas-mas yang pada tidur juga, hahaha. But Thanks God ka Ira mengajakku ke samping kanan kapal yang lebih teduh dan lebih private (yah better laah). Aku langsung nyalain musik instrumental dan berlayar ke Pulau Kapuk alias Molor.
This's LIFE!
Waktupun berlalu dan secercah harapan pun muncul. Tiba-tiba klakson kapal dibunyikan, tanda sebentar lagi kapal akan bersandar. Aku terbangun ketika banyak orang yang lewat melangkahiku, secara tiduran di lantai. Kami segera bergegas nggak sabar ingin menginjakan kaki di Pulau itu. Begitu pintu deck dibuka kami langsung ngacir keluar. Berlari-lari kecil sambil mengeluarkan kamera dan berpose di depan gerbang selamat datang. Sesudah itu ketika melihat rombongan wisata dijemput dengan kendaraan, munculah pertanyaan “kita mau kemana ya?” hahhaha! Akhirnya modal nekad kami terus berjalan, sambil memikirkan mau tidur (baca : camping) dimana. Sampai berkeinginan untuk tidur di lapangan bola di depan kelurahan. Singkat cerita ada seorang bapak pengayuh becak menghampiri kami untuk menawarkan jasanya menyebrangkan kami ke pulau seberang (Pulau Menjangan Besar). Tapi kog aku mencium aroma-aroma kelicikan yah (emang ada baunya?). Setelah gelagatnya semakin nggak enak , kami bersyukur bertemu dengan Pak Anto (local guide sekaligus pengusaha wisata disana) yang berniat membantu kami. Beliau menyebrangkan kami dengan GERATIS ke Menjangan Besar dan membawa kami tour dikemudian hari dengan harga terjangkau! Thanks God! Masalahnya di dompet hanya tersisa beberapa lembar uang saja T_T. 
Muka kena badai
Kami tiba di Mejangan Besar beberapa saat sebelum Magrib. Segera kami menata “rumah” kami. Aku membantu primus memasang tenda dan ka ira mulai masak. Beberapa saat kemudian berhembuslah angin (yang menurutku) rada asing. Tiba-tiba aku ngerasain cemas gitu. Dan sekonyong-konyong tenda kami copot dari pasaknya dan terhempas ke belakang pondok. Akhirnya kami memutuskan untuk tidur di dalam pondok dengan menutupi celah dengan tenda kami, agar tidak kedinginan. Untuk menyalakan trangia aja butuh 3 orang. Karna anginnya super dupper kuenceng. Persediaan air tawar yang kami bawa hanya 2 liter. Jadi kami prioritaskan untuk minum saja. Susah payah akhirnya masakan jadi (maacih mama ira). Kami makan dengan lahap, walaupun dengan menu sederhana dan nasi yang legit-legit gimana gitu. Setelahnya kami mengurungkan niat untuk membuat api unggun, takut kalau apinya terbawa angin dan mengakibatkan kebakaran. Kamipun harus berusaha sekuat pikiran dan tenaga untuk menyalakan lampu badai (ini nama harus diganti selama disana “lampu kena badai” :p).
Rumah selama 3 hari kedepan
Malampun tiba. Cahaya bulan dan bintang menyinari kami ditengah gelapnya Menjangan Besar. Aku menyalakan Playlist di Hp untuk mengusir sepi. Dari becandaan yang hanya “orang2 tertentu” aja yang ngerti sampai akhirnya bercerita tentang kehidupan! Asli nggak bohong sampe sesi nangis2 nggak karuan (indahnya). Ketika badan terasa lelah dan mata mulai sulit untuk dibuka, kami memutuskan untuk tidur. For your information anginnya makin kenceng lho pemirsa. Aku tuh sebenernya orang yang termasuk sensitive kalo tidur, ada suara aja masih bisa denger, yah ibarat kata tidur-tidur ayam. 
Hallo nama aku Primus
Nah mulai hening aku mulai mendengar kejanggalan nih (Boo ini agak horror sepertinya, siap2 yah dan pastikan kamu nggak sendirian bacanya, padahal nulis ini juga lagi sendirian #curcol). Pertama aku denger suara anak ayam apa burung gitu dibelakangku, terus pindah ke samping, terus nggak lama pindah lagi kedepan. Aku langsung spontan nanya sama ka ira en primus klo mereka juga denger apa nggak. Ka ira bilang nggak denger tapi si primus bilang dia juga denger. Tiba-tiba tenda yang kami pasang dicelah-celah pondok terlepas dan angin masuk kencang sekali. Aku segera bangun untuk membetulkannya. Karena saat itu gelap sekali aku mencoba untuk mencari headlampku terlebih dahulu, tapi nggak ketemu. Padahal tadi ku taruh dibelakang kepala, yah mungkin terselip atau karena gelap nggak kelihatan. Akhirnya si primus yang pegang senter maju duluan sementara aku masih sibuk nyari headlamp dan ka ira masih tidur-tiduran. Sepersekian detik setelah primus berdiri dan membuka tenda dia berteriak dan langsung jatuh ke lantai kayu dan menarik selimut yang menutupi badan ka ira (aseli masih merinding inget kejadian itu) dan HENING! Sontak aku yang lagi membungkuk nyari barang langsung tiarap. Pikiran pertama yang terbesit adalah ada maling didepan pondok. Doh! Ini badan langsung dingin seluruhnya. Karna aku pikir Cuma ada 2 cewe en 1 cowo disini dan itu gelap banget, mana barang-barang berceceran lagi. Aku langsung keinget dompet sama kamera dan hp yang masih nyala muter lagu instrumental.
Kapal oleng captain
 Aku sama ka ira sambil gandengan tangan (apa coba! Wkwkwk) sambil terus berdoa. Kita langsung ngobrol (baca : kode) pake bahasa inggris, takutnya itu penduduk local (ngarep mereka nggak ngerti :p). Tapi kembali aku ngerasain hal yang janggal lagi, karena klo emang itu maling kenapa lama banget nggak nyergap kita. Aku emang dengan ada deratan lantai kayu seperti ada yang sedang melangkah masuk dan semakin dekat. Aku denger tas kami ada yang buka-buka dan aku denger seperti ada yang menaruh kelereng di trangia dan terus memutar2 kelereng itu (suara ini cukup lama), dan yang paling aneh aku ngerasa ada seuntai kain diatas tumitku, padahal aku memakai celana sebatas lutut dan selimut diambil si primus. Jujur aku takut tapi aku udah nggak tahan lagi nahannya. Akhirnya aku ngajak ka ira untuk bangun sedangkan si primus sama sekali nggak ada suaranya. Aku pikir dia pingsan. Dengan modal doa, keberanian alias nekad, kami berdua berdiri dan langsung menyalakan senter. AND YOU KNOW WHAT!!! Nggak ada apa-apa, bahkan kami sampai keluar pondok memeriksa. Dan yang lebih aneh lagi, kami baru ingat bagaimana ada orang bisa masuk kedalam tanpa menimbulkan suara. Karena kami sudah mengganjal pintu dengan asbes dan tas si primus dan ketika itu masih tersusun rapih.  
Kami memutuskan untuk tetap berjaga sampai sekitar pukul 02.00 dinihari. Well aku nggak bisa tidur, masih terus tidur-tidur ayam sekalian berjaga-jaga. Sampai akhirnya fajar menyingsing dan datanglah pagi. Pagi itu kuawali dengan berdoa dan segera bersnorkeling ria! Astaga di bibir pantai aja ikannya segambreng apalagi ditengah?? Upps ikuti terus petualangan kami di episode Day II yaaah (nggak cukup soalnya kalo digabung) muahmuah!


Tips :
·    Check kelengkapan peralatan jika ingin camping, pelajari tentang lokasi dulu
·    Bawa logistic yang disesuaikan dengan kebutuhan
·    Harus belajar berani dan keluar dari zona nyaman (yang manja2 nggak idup deh :p)
·    Berbagai dan saling jaga antar team 

Untuk biaya akan aku total aja diakhir artikel (episode) yah

 Dokumentasi lain :
Hanya beberapa langkah dari tempat kami tinggal
Kasiaan dia kesepian, anyone?
Siap-siap nyemplung (baca : mandi)
 
See you on my next journey
*next posting “Unforgettable Karimun Jawa Day II”

Jumat, 06 Mei 2011

“Lampung as my very first time in Sumatra :)”


Kesempatan kali ini sudah kutunggu-tunggu dari 1 tahun yang lalu, dan akhirnya Tuhan menjawab doaku :D. Yess, Lampung. Provinsi yang terletak di ujung Selatan pulau Sumatera. Aku mengincar Lampung karena beberapa orang temanku yang anak pecinta alam ngomong kalau alam di Lampung indah banget, terutama pantainya. Aku juga penasaran karena belum pernah menginjakan kaki di Sumatera (salah satu pulau yang menjadi target petualanganku :D). Perjalanan kali ini sangat special karena tidak hanya sekedar jalan-jalan saja. Kami menyebutnya “mission trip”, pelayanan gereja yang bertepatan pada hari Paskah kemaren yang direkomendasikan oleh salah seorang temenku. Setelah beberapa kali latihan, berangkatlah aku dan rombongan menuju Lampung via Merak-Bakauheni pada tanggal 21 April 2011 (sekitar jam 20.30 dan sampai di Lampung pada keesokan harinya, 22 April 2011 (sekitar jam 04.30 WIB).
Sebelumnya juga mohon maaf ni kalau di hasil fotoku ada jarring laba-labanya alias JAMUR!!! Aku belum sempet untuk bawa lensaku ke “dokter” soalnya :p. .
rumah kedua yang setia menemani
Perjalanan sempat tersendat di tol dalam kota karena superb macet. Begitu sampai di pelabuhan Merak aku teringat akan euphoria Sail Banda, bagaimana asiknya tinggal di dalam kapal selama 20 hari. Jadi kesempatan kali ini aku manfaatkan untuk “mengenang” saat2 itu aja. Walaupun malam hari aku tetap memilih untuk berada di tempat menunggu yang luar, kangen sama angin laut :p. Akupun berusaha sebisa mungkin beradaptasi dengan lingkungan. Waktu itu ada anak kecil muntah deket bangku yang kududuki, ah santai aja mungkin yang sedikit kesulitan adalah waktu aku tidur di kursi. Karena selain kursinya terpisah2 (jd ganjel di tulang :p) aku yang kala itu menyenderkan kaki di pager pembatas bawaannya suggest  mau nyemplung terus, haha. Aku terbangun ketika mendengar klakson kapal yang dibunyikan. Ketika melihat sekeliling (sekalipun itu gelap) aku samar-samar melihat pulau seperti bukit gitu yang mirip sama Pulau Gunung Api di Banda Neira, jadi tambah sedih deh T_T. kami segera bergegas turun untuk melanjutkan perjalanan ke Tanjung Karang. Aku melintasi Jalan Lintas Sumatera, amazing banget pemandangan disana dan apa aja yang lewat di jalan itu, truck-truck teronton yang saling salip, bah olahraga jantung di pagi-pagi buta.
pemandangan dari atas perahu
Singkat cerita kami disambut dengan sangat baik oleh teman-teman di Lampung, salah satu teman kami yang bernama Ricky mengantarkan kami jalan-jalan (wuasiik) ke pantai!. Namanya pantai Mutun. Letaknya ± 25 km arah Barat Daya dari pusat kota Bandar Lampung. Harga tiket masuknya adalah Rp 5.000/orang dan Rp 10.000/mobil. Pada saat itu masih terlihat sepi sekali. Begitu aku keluar dari mobil jujur aku merasa kurang pas jika ingin berenang di pinggiran dermaga yang ada “kapal karamnya”, karena bau anyir ikan yang menyengat tercium yang artinya kurang bagus untuk kesehatan kulit juga. Selain itu juga banyak kapal kecil yang “parkir” kurang pas aja kalau berenang disana, kecuali hanya sekedar main air. Akhirnya ada seorang bapak yang merupakan “pengendara” perahu menawarkan jasanya, dan ia memberikan pilihan untuk main ke Pulau Tangkil saja. Secepat kilat aku langsung bertanya “bisa snorkeling nggak pak?” haha, dan ternyata bisa, langsung saja aku menyetujui jika temen-temenku yang lain mau. Kami akhirnya naik perahu si bapak dan temennya, karena tidak muat jika masuk 1 perahu (kapasitas perahu maksimal 15 orang) dan segera menuju pulau Tangkil. Kalau nggak salah kami berhasil menawar Rp 150.000 untuk 2 perahu, hihihi. Begitu naik aku memilih untuk duduk paling ujung karena ingin mengambil foto pemandangan. Soo gooood deh yaa, dari kejauhan terlihat perbukitan yang masih diselimuti kabut dan semakin mengingatkanku saat aku mengelilingi Pulau Gunung Api di Banda Neira.
bias warna air laut  di Pulau Tangkil
Tibalah kami di Pulau Tangkil, dari jauh aja aku sudah melihat banyak ikan-ikan yang berseliweran. Warna bias air juga terbagi atas 3 lapis. Biru tua untuk perairan yang lebih dalam, biru muda (lebih ke tosca) untuk yang lebih dangkal dan yang bening ketika mendekati daratan. Aku langsung ngacir ke tempat penyewaan alat snorkeling dan ternyata ke-3 temenku mau ikutan. Harga sewanya cukup murah yaitu Rp 30.000 yang berhasil ditawar jadi Rp 25.000/jam untuk goggle, fin dan pelampungnya. Mulailah kami berngapung-ngapung ria. Awalnya sih masih becanda-canda dan sempet BT karena alat snorkelnya copot terus (huh! Jadi pengen nabung buat beli alat sendiri deh) tapi semakin ketengah kami semakin menikmati pemandangan yang kami liat. Walaupun nggak “wah” banget dan agak kotor di sisi pulau sebelah kanan honesty aku cukup senang kog. Ngeliat ikan-ikan beraktivitas dan ada banyak karang dan anemon laut. Merasa kurang puas akhirnya aku pindah spot ke muka pulau tempat perahu datang. Waw waw waw! Baru aja aku mencelupkan muka, ratusan ikan kecil berwarna putih lewat didepan mukaku. Ada juga ikan yang berwarna biru, hijau tosca, jingga sampai neon pink! Pulang dari sana kami menyempatkan diri untuk belanja oleh-oleh yaitu kripik pisang dengan taburan bubuk aneka rasa, yummy!
kepadatan penumpang ferry di pelabuhan Bakauheni
Akhirnya pada tanggal 24 April 2011 kami kembali ke Jakarta dikarenakan berakhirnya liburan panjang kami J. Terjadi antrian yang cukup panjang di pelabuhan Bakauheni, kami harus mengantri kira-kira 1 jam sebelum masuk kapal, dan luckily mobil kita adalah mobil terakhir yang masuk ke dalam ferry sebelum berangkat, nggak kebayang deh kalau harus nunggu 1 jam lagi. Soalnya cuaca saat itu sangat sangat sangat panas sekali :p. ketika kapal mulai berangkat aku duduk dipinggir dinding kapal dan menikmati pemandangan selat Sunda. Dari jauh aku masih sempat melihat pantai Mutun dan pulau Tangkil J. Ada beberapa pulau yang seperti “menarikku” untuk kesana, kapan lagi yaa bisa jelajah kesana? I won’t forget you Lampung and I can’t wait to see you soon J

Tips :
- Hati-hati bagi temen-temen yang berkendara khususnya motor di Jalan Lintas 
   Sumatera, karena banyak teronton yang lewat
- Waktu di Pulau Tangkil lebih baik membawa perbekalan sendiri (makanan dan 
   minuman) karena disana cukup mahal harganya.
- Kalau ingin pinjam alat snorkel jangan lupa untuk dicuci dulu, karena itu kan dari 
  mulut ke mulut, lebih baik sih punya sendiri *langsunglirikdompet :p
- Banyak minum air putih atau air isotonik agar tidak dehidrasi, pakai topi atau 
  pelindung kepala dan memakai pakaian kasual.

Biaya :
        Sebenarnya aku mengumpulkan dana secara kolektif sebesar Rp 150.000 untuk biaya selama perjalanan. Disana kami juga nginep di gereja. Aku hanya merincikan biaya saat dari Pantai Mutun ke Pulau Tangkil. So far masih terjangkau kog J

Dokumentasi lain :
papan informasi Pulau Tangkil
ombak yang tenang, air laut yang jernih dan ikan yang sangat banyak! wanna some more :D
Gradasi warna muka, tangan dan kaos
sendal baaruuuu (sendal joger kaos jogja celana carita) souvenir berjalan
pulau-pulau disekitar pelabuhan Bakauheni
pulau Sumatera dilihat dari kejauhan *Selat Sunda
MY FAVORITE!! <3
See you on my next journey







*next posting “Unforgettable Karimun Jawa (Day I)

Rabu, 27 April 2011

“Wisata sejarah di Candi Jiwa Batu Jaya-Karawang”

Postingan kali ini sedikit berbeda nih temen-temen, karena isinya pelajaran, wkwk. Jadi nggak hanya jalan-jalan seneng aja, belajar itu harus J. Waktu aku masih kuliah di semester 5, aku belajar tentang wisata ziarah. Pada waktu itu kita akan berkunjung ke sebuah candi yang cukup unik yang merupakan hasil penelitian tim dosenku dari fakultas budaya. Candi jiwa namanya, terletak di daerah Batujaya, Karawang-Jawa Barat. Paparan berikut aku ambil dari tugas (laporan) selama aku “penelitian” disana J. Here we go!

Sekilas tentang Kota Karawang
Karawang sebagai salah satu kota di pesisir utara Jawa Barat selama bertahun-tahun telah dikenal sebagai lumbung beras nasional, Namun sebenarnya prestasi kota ini tidak sekadar sebagai penghasil beras semata. Pada zaman perang kemerdekaan, kota ini mengukir sejarah ketika sekelompok pemuda mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan membawa Soekarno Ke Rengas Dengklok. Dan hasilnya, sehari setelah peristiwa tersebut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kini rumah ketika Soekarno pernah diungsikan tersebut masih dapat ditemukan tidak jauh dari pasar Rengas Dengklok. Dalam perkembangannya ternyata Karawang juga menyimpan potensi sumberdaya arkeologi yang sangat besar sejak masa prasejarah, klasik sampai masa Islam tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Dua situs dari masa klasik yakni Batujaya dan Cibuaya, sampai saat ini setidaknya memiliki 30 buah lokasi yang diduga merupakan bangunan candi dari masa Kerajaan Tarumanagara sampai Sunda. Satu jumlah yang berlum tertandingi oleh daerah lain di Jawa Barat dan tentu tidak berlebihan jika Karawang mendapat julukan sebagai Lumbung Candi di Jawa Barat.


Kependudukan
Masyarakat di daerah ini pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Oleh karena itu, sebagian besar lahan di daerah Batujaya digunakan untuk areal persawahan irigasi. Pola tanam padi sebanyak dua kali setahun dan pola tata air yang baik menyebabkan daerah ini subur dan menjadi tulang punggung bagi penyediaan beras. Tak heran jika wilayah Karawang yang mempunyai luas wilayah sekitar 3120 Km ini dikenal sebagai lumbung padi nasional.
Lokasi dikelilingin persawahan penduduk
Di samping bercocok tanam, masyarakat yang tinggal di daerah pantai umumnya hidup sebagai nelayan tradisional. Tampaknya dua jenis pekerjaan ini merupakan keahlian yang telah dilakukan secara turun temurun dari leluhur mereka. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian arkeologi di Komplek Percandian Batujaya yang menemukan bandul jaring dan sisa-sisa kulit kerang pada bata - bata candi.
Dari catatan pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1684 M daerah ini hanyalah berupa rawa-rawa yang tidak berarti. Baru pada tahun 1706 M atas perintah pemerintah Kolonial Belanda, daerah ini dibersihkan dan dijadikan areal persawahan dan perkebunan. Artinya, sejak runtuhnya Komplek Percandian Kegiatan menanam padi dengan latar belakang candi Blandongan Batujaya, daerah ini menjadi tidak berarti dan baru mendapat perhatian kembali pada akhir abad ke-17 M.


Lokasi
Papan penunjuk arah
Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai Ujung Karawang). Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karena tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.
Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena kondisi jalan yang ada.


Penelitian
ini dia Pak Dosenku yang meneliti disana :D
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya.
replika batu bata yang menjadi dinding candi, liat ukurannya deh -__-
Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di Situs Batujaya (Batujaya 1 atau Candi Jiwa, dan Batujaya 5 atau Candi Blandongan) telah dipugar dan sedang dipugar. Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara. Juru kunci situs batujaya ini yang sekaligus menjadi pengurus bernama Pak Kaisin Kasin.


Candi Jiwa
Penampakan Candi Jiwa
Candi Jiwa yang dikenal sebagai Unur Jiwa, terletak di tengah areal persawahan berupa gundukan tanah yang berbentuk oval setinggi 4 meter dari permukaan tanah. Bangunan yang berukuran 19 x 19 meter dengan tinggi 4,7 meter ini tidak mempunyai tangga masuk dan di bagian permukaan atas terdapat susunan bata yang melingkar dengan garis tengah sekitar 6 meter yang diduga merupakan susunan dari bentuk stupa. Nama Candi Jiwa diberikan penduduk karena setiap kali mereka menambatkan kambing gembalaannya di atas reruntuhan candi tersebut, ternak tersebut mati. Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia. Ketika umat Budha melakukan ritual ditempat ini mereka mengitari candi jiwa seturut dengan perputaran arah jarum jam.
Jalan setapak yang akan dikelilingi umat Budha saat mengadakan ritual
Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata. Pada masa lampau, masyarakat membuat batu bata dengan menggunakan kayu sebagai media bakarnya, itulah yang membedakan batu bata pada masa lampau yang lebih terlihat gosong dibandingkan dengan batu batu masa sekarang yang dibakar menggunakan oven, walaupun suhu bakaran kedua-duanya berkisar 45 derajat celcius. Dan yang menjadi keunikan, batu bata didaerah batujaya itu berukuran sangat besar dibandingkan dengan ukuran batu bata di daerah Jakarta dan sekitarnya.  


Candi Blandongan
aku bersama teman sekelompok (Ali) di Gapura Candi Blandongan
Nama Blandongan diambil dari dialek setempat yang identik dengan pendopo atau bangunan besar untuk pertemuan atau menerima tamu, dikarenakan lokasi candi tersebut berada sering dijadikan tempat peristirahatan seusai menggembalakan ternak. Candi ini memiliki bentuk bujur sangkar berukuran 24,2 x 24,2 meter. Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap candi Blandongan, diambil kesimpulan bahwa Candi Blandongan adalah candi utama dari kompleks candi-candi tersebut. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan ukuran candi dan adanya pintu masuk pada  ke-empat sisi candi dengan masing-masing sisi tersebut terletak disudut Tenggara, Barat Daya, Timur Laut dan Barat Laut dari mata angin. Pintu-pintu tersebut diperkirakan merupakan akses masuk ke bagian tengah candi untuk melakukan upacara keagaaman atau meletakkan sesaji. Lubang silinder berdiameter kira-kira setengah meter yang terletak pada bagian muka dari pintu masuk, diperkirakan dulunya merupakan tiang penyangga untuk bagian atas atau sebagai gapura. 
Lubang yang bekas tiang Gapura
Dari sisa-sisa reruntuhan bisa dibagi menjadi tiga jenis bahan penyusun candi, yakni batu andesit digunakan pada beberapa bagian di bawah candi, batu bata yang merupakan bahan dominan, digunakan untuk membangun badan candi, sedangkan batu-batuan kecil yang direkatkan dengan lapisan putih diunakan untuk ornamen atap candi. Lapisan putih yang tampak seperti kapur itu, menurut para arkeologi diperkirakan dibentuk dari serpihan kerang. Dengan adanya bahan-bahan penyusun tersebut, pada jaman dulu tentunya candi ini amatlah megah, namun sayang sekali tidak ada literatur yang bisa dijadikan pedoman seperti apa bagian atas dari candi Blandongan ini.


Kelebihan Situs Batu Jaya
Ø Akses menuju situs baik keadaannya, serta jarak tempuh dari jalan utama sangat dekat, hanya sekitar ± 50 meter
Ø Harga tiket masuk sangat terjangkau (Rp 1.000), jadi seluruh kalangan masyarakat dapat mengunjunginya tanpa ada masalah dengan keuangan.
Ø Kawasan objeknya luas sehingga mampu menampung banyak pengunjung.
Ø Pedagang hanya berada dipintu gerbang yang cukup jauh dari objek dan hanya ada satu, yaitu penjual minuman dan makanan ringan.
Ø Pengurus objek sangat ramah dan terbuka terhadap para pengunjung.
Ø Persawahan disekeliling objek menjadi faktor pendukung bernuansa alami serta dapat menjadi educative field untuk pengunjung yang membawa anaknya, serta dapat menjadi media pelepas penat dengan kehidupan di kota besar, yang hampir tidak ditemukan sawah satupun.
Ø Lingkungannya bersih dan terawat. Masyarakat ataupun pengunjung sebagian menganggap kawasan tersebut sebagai tempat yang sakral dan tabu bagi mereka untuk membuang sampah sembarangan, namun hanya segelintir orang yang jahil dan tidak bertanggung jawab yang membuang sampah di area persawahan.



Kekurangan Situs Batu Jaya
Ø Area parkirnya yang sangat sempit karena hanya mengandalkan halaman rumah warga.
Ø Jalan memasuki objek sangat sempit, kalau bukan pengemudi yang mahir pasti akan susah untuk melewatinya, dan kabel-kabel listrik yang terlalu rendah menyebabkan ketika kendaraan (bis) memasuki jalan kecil tersebut warga sekitar harus menaikan kabel listrik dengan menggunakan bambu agar bis dapat lewat.
Ø Panas mataharinya begitu menyengat sekali, sehingga pengunjung tidak dapat bertahan lama tanpa adanya payung atau penutup kepala seperti topi, bahkan beberapa orang teman kami hampir pingsan karena tidak kuat menahan panasnya matahari yang begitu menyengat.


Tips :
-    Pakai sun block untuk mengurangi kegosongan :p.
-    Pakai pakaian kasual dan topi karena disana “agak” panas, haha.
-    Kalau nggak kuat bawa paying dan air mineral agar tidak dehidrasi.


Biaya :
Biaya berupa iuran kolektif yang sudah termasuk transport dan makan.

Dokumentasi lain :
Sisa reruntuhan yang ada di "museum mini" di samping rumah Pak Kaisin Kasin 
Candi jiwa bersama Vega :)
si Ali jadi bahan percobaan @ Candi Blandongan
Reruntuhan Unur Lempeng
Rombongan di Candi Blandongan
Bpk.  Kaisin Kasin 
Jamuan makan di rumah Pak Kaisin Kasin 
Salah asuh, hahaha




See you on my next journey
*next posting “Lampung as my very first time in Sumatra