Postingan kali ini sedikit berbeda nih temen-temen, karena isinya pelajaran, wkwk. Jadi nggak hanya jalan-jalan seneng aja, belajar itu harus J. Waktu aku masih kuliah di semester 5, aku belajar tentang wisata ziarah. Pada waktu itu kita akan berkunjung ke sebuah candi yang cukup unik yang merupakan hasil penelitian tim dosenku dari fakultas budaya. Candi jiwa namanya, terletak di daerah Batujaya, Karawang-Jawa Barat. Paparan berikut aku ambil dari tugas (laporan) selama aku “penelitian” disana J. Here we go!
Sekilas tentang Kota Karawang
Kependudukan
Masyarakat di daerah ini pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Oleh karena itu, sebagian besar lahan di daerah Batujaya digunakan untuk areal persawahan irigasi. Pola tanam padi sebanyak dua kali setahun dan pola tata air yang baik menyebabkan daerah ini subur dan menjadi tulang punggung bagi penyediaan beras. Tak heran jika wilayah Karawang yang mempunyai luas wilayah sekitar 3120 Km ini dikenal sebagai lumbung padi nasional.
Lokasi dikelilingin persawahan penduduk |
Dari catatan pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1684 M daerah ini hanyalah berupa rawa-rawa yang tidak berarti. Baru pada tahun 1706 M atas perintah pemerintah Kolonial Belanda, daerah ini dibersihkan dan dijadikan areal persawahan dan perkebunan. Artinya, sejak runtuhnya Komplek Percandian Kegiatan menanam padi dengan latar belakang candi Blandongan Batujaya, daerah ini menjadi tidak berarti dan baru mendapat perhatian kembali pada akhir abad ke-17 M.
Lokasi
Papan penunjuk arah |
Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena kondisi jalan yang ada.
Penelitian
ini dia Pak Dosenku yang meneliti disana :D |
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya.
replika batu bata yang menjadi dinding candi, liat ukurannya deh -__- |
Candi Jiwa
Penampakan Candi Jiwa |
Jalan setapak yang akan dikelilingi umat Budha saat mengadakan ritual |
Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata. Pada masa lampau, masyarakat membuat batu bata dengan menggunakan kayu sebagai media bakarnya, itulah yang membedakan batu bata pada masa lampau yang lebih terlihat gosong dibandingkan dengan batu batu masa sekarang yang dibakar menggunakan oven, walaupun suhu bakaran kedua-duanya berkisar 45 derajat celcius. Dan yang menjadi keunikan, batu bata didaerah batujaya itu berukuran sangat besar dibandingkan dengan ukuran batu bata di daerah Jakarta dan sekitarnya.
Candi Blandongan
aku bersama teman sekelompok (Ali) di Gapura Candi Blandongan |
Lubang yang bekas tiang Gapura |
Kelebihan Situs Batu Jaya
Ø Akses menuju situs baik keadaannya, serta jarak tempuh dari jalan utama sangat dekat, hanya sekitar ± 50 meter
Ø Harga tiket masuk sangat terjangkau (Rp 1.000), jadi seluruh kalangan masyarakat dapat mengunjunginya tanpa ada masalah dengan keuangan.
Ø Kawasan objeknya luas sehingga mampu menampung banyak pengunjung.
Ø Pedagang hanya berada dipintu gerbang yang cukup jauh dari objek dan hanya ada satu, yaitu penjual minuman dan makanan ringan.
Ø Pengurus objek sangat ramah dan terbuka terhadap para pengunjung.
Ø Persawahan disekeliling objek menjadi faktor pendukung bernuansa alami serta dapat menjadi educative field untuk pengunjung yang membawa anaknya, serta dapat menjadi media pelepas penat dengan kehidupan di kota besar, yang hampir tidak ditemukan sawah satupun.
Ø Lingkungannya bersih dan terawat. Masyarakat ataupun pengunjung sebagian menganggap kawasan tersebut sebagai tempat yang sakral dan tabu bagi mereka untuk membuang sampah sembarangan, namun hanya segelintir orang yang jahil dan tidak bertanggung jawab yang membuang sampah di area persawahan.
Kekurangan Situs Batu Jaya
Ø Area parkirnya yang sangat sempit karena hanya mengandalkan halaman rumah warga.
Ø Jalan memasuki objek sangat sempit, kalau bukan pengemudi yang mahir pasti akan susah untuk melewatinya, dan kabel-kabel listrik yang terlalu rendah menyebabkan ketika kendaraan (bis) memasuki jalan kecil tersebut warga sekitar harus menaikan kabel listrik dengan menggunakan bambu agar bis dapat lewat.
Ø Panas mataharinya begitu menyengat sekali, sehingga pengunjung tidak dapat bertahan lama tanpa adanya payung atau penutup kepala seperti topi, bahkan beberapa orang teman kami hampir pingsan karena tidak kuat menahan panasnya matahari yang begitu menyengat.
Tips :
- Pakai sun block untuk mengurangi kegosongan :p.
- Pakai pakaian kasual dan topi karena disana “agak” panas, haha.
- Kalau nggak kuat bawa paying dan air mineral agar tidak dehidrasi.
Biaya :
Biaya berupa iuran kolektif yang sudah termasuk transport dan makan.
Dokumentasi lain :
Sisa reruntuhan yang ada di "museum mini" di samping rumah Pak Kaisin Kasin |
Candi jiwa bersama Vega :) |
si Ali jadi bahan percobaan @ Candi Blandongan |
Reruntuhan Unur Lempeng |
Rombongan di Candi Blandongan |
Bpk. Kaisin Kasin |
Jamuan makan di rumah Pak Kaisin Kasin |
Salah asuh, hahaha |
See you on my next journey
*next posting “Lampung as my very first time in Sumatra”