Rindu akan kesunyian pedesaan akhirnya terpenuhi ketika kembali bertugas sebagai pemandu wisata anak sekolah. Saat itu rute perjalanan menuju kaki gunung Merbabu - Magelang. Tepatnya di desa Genikan. Perjalanan dimulai dengan menjemput rombongan anak sekolah di daerah Pulo Gadung. Kami melintasi jalur pantura menuju Semarang dan dilanjutkan menuju Magelang.
Malam itu suasana cukup dingin, dikarenakan hujan yang turun cukup lebat dan jalan yang semakin menanjak ke arah pegunungan. Kami harus berhenti untuk melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil pick up, karena rute yang ditempuh tidak mampu dilewati oleh kendaraan besar sekelas bus. Jalan semakin curam, cahayapun mulai temaram. Aku duduk dipaling belakang terkesima dengan pemangangan kota Magelang saat malam hari. Dari atas bukit lampu - lampu kota terlihat begitu indah. Tidak ada satupun suara selain suara mesin mobil yang menderu - deru dan aroma kopling yang sangat menyengat.
Sesampainya di desa Genikan kami segera berbaris untuk membagi - bagi kelompok dan rumah tinggal. Sementara panitia tinggal dirumah bapak Lurah. Rumahnya cukup modern dengan tetap mempertahankan area dapur yang masih tradisional. Hari pertama aku sempat beberapa kali terbangun akibat penurunan suhu yang drastis sekitar pukul 03.00 dinihari. sleeping bag dan sweater tidak cukup menghangatkanku.
Pagi harinya kami diajak berkeliling desa dan belajar bercocok tanam. Mata penghasilan utama desa Genikan berasal dari sektor pertanian. Mayoritas yang ditanam disana adalah sayur mayur, diantaranya; brokoli, daun bawang, celedri, wortel, kacang-kacangan, jagung, kentang, dsb. Mereka masih menggunakan kalender jawa. Namun sekarang ini mereka mengeluhkan cuaca yang sudah tidak dapat diprediksi lagi kapan musim penghujan kapan musim kemarau. Menurut mereka tanaman yang menghasilkan uang lebih banyak adalah brokoli. Pada saat itu kelompokku tinggal di rumah Pak Slamet, jadi beliau jugalah yang bertugas menjadi pemandu wisata kami, hehe.
Pak Slamet |
Pada malam harinya kami menonton pertunjukan wayang kulit yang digelar oleh tetua desa. Biasanya pertunjukan ini hanya dilaksanakan bila ada acara khusus, tapi pada waktu kami disana dapat kesempatan yang luar biasa untuk turut menyaksikannya. Konon ada beberapa wayang yang terbuat dari kulit manusia asli. Kalau tidak salah waktu aku melihatnya wayang itu sudah berwarna kehitaman. Tidak diceritakan bagaimana riwayat pembuatannya. Sebelum pementasan wayang, kuncen mempersiapkan sesaji dan membakar menyan tepat tidak jauh dari tempat aku duduk. Asap yang begitu tebal dan aroma yang sangat menyengat membuatku mundur berapa jarak. Tapi segera terhibur dengan warga yang menyajikan cemilan dan segelas air jahe hangat :). Ketika malam semakin larut banyak diantara siswa yang mulai mengantuk dan memilih untuk kembali ke rumah tinggal. Yang lain tampak bosan, mungkin dikarenakan mereka tidak memahami cerita yang terkandung didalamnya karena menggunakan bahasa Jawa.
Anak - anak desa Genikan menunjukan tunas wortel |
Aku sempat berinteraksi dengan penduduk disana, dari mulai belajar menanam wortel sampai ikut masak di dapur. Mereka dengan sabar mengajariku dengan saling bertukar cerita kehidupan. Sampai saat inipun aku masih ingat keramahan mereka terhadap kaum pendatang. Keesokan harinya kami harus meninggalkan desa itu untuk melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Aku sampai terharu ketika masyarakat desa berkumpul dialun - alun dan pengantarkan kami pergi dengan melambaikan tangan dan meneteskan air mata. Oh Dear God, please bless and protect them.
Dokumentasi lainnya:
Biaya:
Hehe sekali lagi it's all free. Namanya juga lagi tugas :p Tips:
- Berkenalan dan ramah terhadap penduduk lokal, bagaimanapun mereka adalah tuan rumah.
- Menghormati adat istiadat yang berlaku didaerah tersebut
- Jangan sungkan untuk bertukar pikiran dengan penduduk setempat karena banyak ilmu yang
bisa didapat.
See you on my next journey
*next posting "Water Trecking di Cisarua - Puncak Bogor"